
Pantau - Sudah 10 usai ekstremis Daesh mengamuk di Irak Utara, Moaz Fadhil akhirnya bisa kembali ke kampung halamannya. Bersama delapan anaknya, Fadhil yang sudah menahun tinggal di kamp pengungsian, kini kembali ke Desa Hassan Shami yang hanya sejauh lemparan batu dari tenda-tenda tempat mereka berlindung.
Namun, rumah yang dulu mereka tinggali kini hanya menyisakan puing-puing dan kenangan pahit dari pertempuran yang melibatkan kelompok jihad tersebut. Pada puncaknya, Daesh berhasil merebut sepertiga wilayah Irak, mendirikan "kekhalifahan" yang dipimpin dengan tangan besi.
Baru pada 2017, dengan bantuan koalisi internasional, mereka berhasil digusur. Meski demikian, tujuh tahun setelahnya, banyak rumah di desa tersebut yang masih porak-poranda, dan berbagai layanan dasar belum tersedia.
Meski begitu, Fadhil merasakan "kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan" ketika akhirnya bisa kembali ke tanah kelahirannya pada Agustus lalu. Irak, yang telah lama dibekap perang dan kekacauan, kini menjadi rumah bagi lebih dari satu juta orang yang masih mengungsi.
Baca juga: Resistensi Islam di Irak Luncurkan Serangan Drone ke Sasaran Israel
Pemerintah Baghdad telah berusaha menutup kamp-kamp pengungsian, mengingat negara tersebut kini mulai mencapai stabilitas pasca-konflik. Namun, meski banyak kamp telah ditutup, sekitar 20 kamp masih beroperasi di wilayah otonom Kurdistan, dengan lebih dari 115.000 orang tinggal di sana, menurut data PBB.
Kembali ke rumah asal bukanlah perkara mudah. Setelah mendapat izin dari pasukan keamanan Kurdistan untuk meninggalkan kamp, Fadhil harus menampung keluarganya di rumah rusak milik temannya. Rumahnya sendiri, yang sudah hancur, masih penuh dengan reruntuhan.
"Air datang menggunakan truk tangki, dan tak ada listrik," ujar Fadhil yang kini berusia 53 tahun.
Dinding bata dan lantai beton kasar masih terlihat tanpa lapisan apapun di rumah yang kini mereka tempati. Di sekitar Hassan Shami, rumah-rumah yang sebagian runtuh berdiri berdampingan dengan bangunan beton yang tengah dibangun oleh warga yang mampu merenovasi rumah mereka.
Baca juga: AS Pasok Senjata dari Irak ke Suriah
Beberapa bahkan telah memasang panel surya untuk menyokong kehidupan mereka. Di samping jalan aspal, sebuah masjid baru yang putih bersih tampak kontras dengan bangunan yang rusak di sekitarnya.
Fadhil yang kini bekerja sebagai petani yang tak memiliki pekerjaan tetap, mengenang masa-masa indah bersama anak-anak dan orangtuanya di desa itu. Kini, mereka bertahan hidup dengan penghasilan anak sulungnya, yang bekerja sebagai buruh harian di proyek pembangunan.
“Setiap empat atau lima hari, dia bekerja satu hari dan mendapat sekitar 8 dolar,” ungkap Fadhil.
Di tengah upaya pemerintah Irak menutup kamp-kamp pengungsian dan memfasilitasi kembalinya pengungsi, pemerintah menawarkan sekitar 3.000 dolar bagi setiap keluarga yang bersedia kembali ke tempat asalnya. Namun, syaratnya adalah mereka harus mendapatkan izin keamanan dan melengkapi dokumen identitas serta hak properti mereka.
Sayangnya, bagi banyak pengungsi, kembali ke rumah bukanlah hal yang mudah. Beberapa di antara mereka, termasuk yang pernah dipenjara karena keterlibatan dengan Daesh, khawatir akan stigma sosial dan potensi penangkapan oleh pasukan federal.
Baca juga: Operasi Militer Irak Tewaskan Tokoh Penting ISIS di Pegunungan Hamrin
Rashid, seorang mantan narapidana berusia 32 tahun, yang meminta nama samaran untuk melindungi identitasnya, mengatakan, “Jika saya kembali, saya akan menghadapi 20 tahun penjara.” Ia khawatir akan diadili lagi di pengadilan Irak meskipun sudah dibebaskan.
Juru bicara Kementerian Imigrasi Irak, Ali Abbas, mengonfirmasi bahwa mereka yang terlibat dalam kejahatan mungkin akan diadili setelah meninggalkan kamp. Meski begitu, ia menegaskan keluarga mereka tidak akan dihukum. Ia juga menambahkan pemerintah bekerja keras untuk memastikan keluarga-keluarga yang kembali bisa mengakses layanan dasar.
Namun, beberapa organisasi seperti Dewan Pengungsi Norwegia memperingatkan agar penutupan kamp-kamp pengungsian tidak dilakukan terburu-buru. Tanpa fasilitas dasar ini, banyak keluarga yang kembali ke kamp-kamp pengungsian, terjebak dalam siklus kekurangan yang tak kunjung berakhir.
"Ketika orang-orang kembali, mereka membutuhkan sekolah, rumah sakit, jalan, dan pasar yang berfungsi untuk mendukung mata pencaharian mereka," kata Imrul Islam dari organisasi tersebut.
Sumber: AFP
- Penulis :
- Khalied Malvino