Pantau Flash
HOME  ⁄  Internasional

Ramadan di Gaza: Antara Gencatan Senjata dan Luka Perang

Oleh Aditya Andreas
SHARE   :

Ramadan di Gaza: Antara Gencatan Senjata dan Luka Perang
Foto: Suasana Ramadan di Gaza usai kesepakatan gencatan senjata antara Hamas-Israel. (foto: ANTARA)

Pantau - Di saat umat Muslim di seluruh dunia menyambut bulan suci dengan sukacita, warga Gaza justru menjalani Ramadan dalam bayang-bayang perang yang baru saja usai. 

Meskipun gencatan senjata tengah berlangsung, ketidakpastian masih menghantui. Banyak warga yang khawatir konflik akan kembali meletus sewaktu-waktu.

Bagi warga Gaza, Ramadan tahun lalu adalah yang terburuk. Kekurangan makanan membuat banyak keluarga berbuka puasa hanya dengan sepotong roti atau makanan kaleng yang dibagi untuk enam orang. 

Tanpa listrik, mereka menyantap makanan dalam kegelapan, tanpa bisa melihat wajah satu sama lain. Suasana kebersamaan pun sirna, karena banyak keluarga yang terpisah akibat pengungsian.

Masjid-masjid yang biasanya menjadi pusat ibadah hancur oleh serangan udara. Tidak ada suara adzan dari pengeras suara, hanya dentuman rudal dan tembakan yang menggema saat waktu berbuka tiba. 

Bahkan Masjid Agung Omari, salah satu masjid tertua dan termegah di Gaza, kini tinggal puing-puing.

Baca Juga: Hamas Tuduh Trump Dukung Israel Langgar Gencatan Senjata Gaza

Tahun ini, suasana sedikit berbeda. Tidak ada lagi serangan udara yang mengguncang tanah saat berbuka atau ketakutan memasang lampu hias di rumah. 

Beberapa pasar dan toko yang selamat dari kehancuran mulai beroperasi kembali. Bahkan, Hyper Mall di Nuseirat telah dibuka, menghadirkan kembali produk-produk yang selama ini dirindukan warga.

Namun, di balik keberlimpahan semu itu, harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Banyak keluarga masih kesulitan mendapatkan makanan layak. 

Sebagian besar hanya bisa berbuka dengan nasi dan sayur sederhana, sementara ayam dan daging menjadi kemewahan yang sulit dijangkau.

Di banyak meja iftar, ada kursi kosong yang tak lagi terisi. Perang telah merenggut lebih dari 48.000 nyawa, menghapus nama-nama dari catatan sipil dan meninggalkan kesedihan mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan.

Penulis :
Aditya Andreas