
Pantau - Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menggencarkan agenda proteksionisnya dengan menargetkan sektor manufaktur semikonduktor sebagai kunci kemandirian ekonomi nasional, menantang dominasi Asia yang telah lama menguasai industri chip global.
Trump menilai Amerika Serikat telah salah langkah selama beberapa dekade, membiarkan sektor strategis ini dikuasai oleh negara-negara seperti China, Taiwan, Jepang, dan Korea Selatan.
Ia kini mendorong percepatan pembangunan pabrik chip dalam negeri melalui tarif impor tinggi, insentif pajak, serta tekanan langsung terhadap perusahaan asing seperti TSMC dan Samsung.
Trump bahkan mengancam akan mengenakan pajak hingga 100% bagi perusahaan yang enggan membangun fasilitas produksi di AS.
Tantangan Besar Bagi Industri Chip AS, Asia Masih Jadi Pusat Teknologi
Meski menerima hibah dan pinjaman besar, seperti US$6,6 miliar untuk TSMC di Arizona dan US$6 miliar untuk Samsung di Texas, upaya AS menghadapi hambatan serius berupa biaya tinggi, kelangkaan tenaga kerja terampil, dan penolakan dari serikat pekerja.
TSMC sendiri menyatakan bahwa produksi chip tercanggih masih akan dipusatkan di Taiwan, dengan fasilitas di AS hanya memproduksi chip satu generasi lebih rendah.
Rantai pasokan semikonduktor yang sangat kompleks dan tersebar secara global membuat relokasi industri ini ke dalam negeri tidak mudah.
Mulai dari bahan baku di China, produksi di Taiwan, pengemasan di Vietnam, hingga pengujian di China—semuanya terhubung sebelum chip sampai ke pasar AS.
China, yang juga menghadapi tekanan dari tarif AS, memperluas investasinya di sektor R&D dan pasar negara berkembang, termasuk lewat Huawei dan pengembangan teknologi baru seperti Deepseek.
Sementara India mulai dilirik sebagai alternatif baru karena biaya tenaga kerja murah dan sistem pendidikan yang baik, meski masih menghadapi kendala lahan dan infrastruktur.
Dunia Menuju Proteksionisme Teknologi, Tapi Kolaborasi Masih Jadi Kunci
Trump berusaha mengulang strategi serupa seperti pada kasus TikTok, dengan menekan perusahaan asing agar berbagi kepemilikan dengan perusahaan AS.
Ia mengklaim bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mengembalikan lapangan kerja dan memastikan kemandirian ekonomi negara.
Namun, para analis mengingatkan bahwa kebijakan proteksionis dan perubahan arah yang tidak konsisten justru menciptakan ketidakpastian di industri chip global.
Model kolaboratif seperti yang diterapkan di Asia selama ini terbukti lebih efektif dan efisien, memungkinkan pertukaran teknologi dan spesialisasi lintas negara.
Membangun kembali ekosistem chip dalam negeri membutuhkan waktu puluhan tahun, serta sinergi antara investasi, kebijakan imigrasi, dan kemitraan internasional.
Tanpa itu, ambisi menggeser dominasi Asia hanya akan menjadi slogan politik tanpa hasil nyata.
- Penulis :
- Gian Barani