
Pantau - Setiap tanggal 5 Februari, Indonesia memperingati peristiwa bersejarah yang dikenal sebagai Pemberontakan Kapal Tujuh Provinsi. Peristiwa ini merupakan aksi perlawanan pertama yang dilakukan oleh prajurit laut Indonesia terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kejadian ini tidak hanya menandai awal perlawanan di sektor maritim, tetapi juga menjadi simbol ketidakadilan yang dialami oleh para pelaut pribumi di bawah pemerintahan kolonial.
Latar Belakang Peristiwa
Pada awal tahun 1930-an, dunia tengah menghadapi krisis ekonomi global yang berdampak besar pada berbagai sektor, termasuk militer Hindia Belanda. Pemerintah kolonial yang mengalami defisit keuangan mulai melakukan pemangkasan gaji terhadap para pekerja, termasuk para marinir. Gubernur Jenderal de Jonge mengusulkan pemotongan gaji sebesar 10 persen pada awal 1932, yang kemudian disusul dengan pemangkasan tambahan sebesar 7 persen di tahun yang sama, sehingga total pemotongan mencapai 17 persen.
Baca Juga:
Mengenal Tuvalu: Negara Kecil yang Terancam Hilang Karena kenaikan Air Laut
Pemotongan ini berlaku sama bagi seluruh awak kapal, baik yang berasal dari Belanda maupun pribumi. Namun, mengingat ketimpangan gaji yang sudah ada sebelumnya, pemotongan ini semakin memberatkan para marinir pribumi. Ketidakpuasan pun mulai memuncak, terutama di antara para awak kapal perang "De Zeven Provincien," yang merupakan kapal tempur terbesar milik Angkatan Laut Hindia Belanda. Kapal ini tidak hanya digunakan untuk operasi militer, tetapi juga sebagai tempat pelatihan bagi marinir pribumi yang telah lulus dari Pendidikan Dasar Pelaut Bumiputera di Makassar.
Kronologi Pemberontakan
Pada tanggal 26 Januari 1933, para awak kapal menerima informasi bahwa pemangkasan gaji akan resmi diberlakukan mulai 1 Februari 1933, sebagaimana tercantum dalam keputusan Koninlijk Besluit No.51. Mengetahui hal ini, para marinir bumiputera mulai mengadakan diskusi dan menyusun rencana aksi protes. Pada 28 Januari 1933, ketegangan semakin meningkat setelah terjadi penangkapan terhadap 425 anak kapal di Surabaya.
Tanggal 5 Februari 1933, saat kapal "De Zeven Provincien" berlayar di perairan lepas Sumatera menuju Surabaya, para awak kapal melakukan aksi pengambilalihan kemudi. Mereka yang memimpin aksi ini antara lain Paradja, Rumambi, Gosal, dan Kawilarang. Sejumlah awak kapal dari bangsa Eropa juga bergabung dalam aksi perlawanan ini.
Reaksi Pemerintah Kolonial
Pemberontakan ini mendapat respons cepat dari pemerintah kolonial Belanda. Menteri Urusan Jajahan Belanda, Hendrikus Colijn, mengambil langkah tegas dengan melarang media untuk memberitakan peristiwa ini. Namun, kapal perang yang dikuasai para pemberontak tetap melanjutkan pelayaran menuju Surabaya.
Pada 10 Februari 1933, sebelum mencapai Selat Malaka, "De Zeven Provincien" dikepung oleh sejumlah kapal perang dan pesawat tempur milik Belanda. Meskipun telah diberikan peringatan untuk menyerah, para pemberontak tetap bertahan. Akhirnya, salah satu pesawat tempur menjatuhkan bom ke arah kapal, menyebabkan banyak korban jiwa di antara para awak kapal.
Dampak dan Akhir Peristiwa
Setelah serangan udara tersebut, para pemberontak yang masih hidup akhirnya ditangkap, termasuk Kawilarang. Ia dijatuhi hukuman penjara selama 18 tahun. Sementara itu, awak kapal yang gugur dalam peristiwa ini awalnya dimakamkan di Pulau Mati, Kepulauan Seribu. Setelah Indonesia merdeka, jenazah mereka dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, sebagai penghormatan atas perjuangan mereka.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Kawilarang bergabung dengan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) dan terus berjuang untuk kemerdekaan. Ia kemudian gugur dalam tugas di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
Kesimpulan
Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi merupakan simbol perjuangan para pelaut pribumi dalam menghadapi ketidakadilan kolonial. Kejadian ini menunjukkan bahwa perlawanan terhadap penjajahan tidak hanya terjadi di darat, tetapi juga di lautan. Hari ini, kita mengenang mereka yang telah berani melawan demi martabat dan keadilan, serta menjadikan kisah ini sebagai bagian dari sejarah panjang perjuangan kemerdekaan Indonesia.
- Penulis :
- Ahmad Ryansyah
- Editor :
- Ahmad Ryansyah