
Pantau - Guru Besar Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (Fapet UGM), Suci Paramitasari, mendorong pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sektor olahan ternak untuk menguasai pasar domestik sebagai langkah paling realistis menghadapi tantangan ekspor, terutama menyusul kebijakan tarif resiprokal sebesar 32 persen dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Pasar Lokal Dinilai Potensial dan Strategis
Suci menyatakan bahwa Indonesia memiliki pasar dalam negeri yang sangat potensial dengan jumlah penduduk sekitar 281 juta orang, yang seharusnya dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh pelaku UMKM.
Ia menekankan bahwa ketimbang berfokus pada pasar ekspor yang memiliki regulasi ketat, khususnya dalam aspek keamanan pangan, UMKM sebaiknya memperkuat pijakan di pasar lokal terlebih dahulu.
"Dunia kan tidak hanya di sana. Jadi, harus lihat juga pasar-pasar yang lain. Paling tidak kita mencoba mencari celah pasar baru," ujarnya.
Salah satu strategi utama yang disarankan Suci adalah sertifikasi produk olahan ternak, karena selain menjamin keamanan konsumsi, sertifikasi juga membuka akses produk ke berbagai jaringan distribusi modern seperti minimarket dan supermarket.
"Sertifikasi itu untuk mereka (UMKM) supaya bisa tetap eksis. Sekarang minimarket saja sudah menata diri, jadi untuk masuk ke sana ya minimal punya sertifikat," jelasnya.
Produk olahan ternak yang dianggap potensial untuk dikembangkan lebih lanjut antara lain produk susu, dengan catatan UMKM mampu menunjukkan keunikan produknya agar dapat bersaing dengan produk pabrikan besar.
"Tunjukkan keunikan produk, bahwa dia berbeda, 'home made'. Sekarang banyak anak muda yang menghargai produk lokal. Itu jadi celah yang bisa dimanfaatkan," tambahnya.
Tantangan Sertifikasi dan Peran Perguruan Tinggi
Meski sertifikasi menjadi kunci akses pasar, Suci mengakui bahwa UMKM masih menghadapi berbagai tantangan dalam prosesnya, mulai dari kurangnya informasi, biaya yang tinggi, hingga keterbatasan pendampingan teknis.
"Para pelaku usaha mikro di sektor pengolahan produk peternakan masih enggan mengurus sertifikasi disebabkan oleh kurangnya informasi dan pendampingan yang didapat. Di sinilah peran sektor perguruan tinggi dapat hadir untuk memberikan edukasi dan pendampingan," terang Suci.
Ia juga menyoroti dominasi produk pabrikan skala besar yang memiliki keunggulan efisiensi dan kemudahan akses bahan baku impor dengan harga murah, sebagai kompetitor serius bagi UMKM.
Untuk itu, ia mendorong adanya koordinasi antara asosiasi dan pelaku usaha dalam menetapkan harga yang wajar dan kompetitif.
"Kita harus atur harga yang nyaman bagi konsumen dan pelaku usaha. Banyak koordinasi juga perlu dilakukan dengan pemerintah," katanya.
Suci berharap UMKM bisa naik kelas melalui peningkatan kualitas produk, sertifikasi, dan strategi branding yang tepat.
"Saya mungkin belum bicara ekspor. Tapi paling tidak, saat produk impor masuk, kita sudah siap dengan kekuatan sendiri di pasar lokal," tegasnya.
Senada dengan Suci, Kepala Laboratorium Agrobisnis Departemen Sosial Ekonomi Fapet UGM, Prof. Tri Anggraeni Kusumastuti, menegaskan bahwa sertifikasi bukan hanya formalitas administratif, melainkan bentuk komitmen terhadap mutu.
"Produsen yang ingin memperluas pangsa pasarnya dapat mengurus sertifikasi produk sebagai syarat-syarat memasuki pasar tersebut," tuturnya.
- Penulis :
- Pantau Community