
Pantau - Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, menyampaikan bahwa investor global tetap menunjukkan optimisme terhadap prospek ekonomi Indonesia, meskipun saat ini tengah menghadapi ketidakpastian akibat kebijakan tarif yang diberlakukan oleh Amerika Serikat.
Hal ini disampaikan Perry dalam Konferensi Pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK): Hasil Rapat Berkala KSSK II Tahun 2025 yang digelar secara virtual dari Jakarta pada Kamis (24/4/2025).
"Investor global itu tetap optimis terhadap ekonomi Indonesia. Tentu saja karena sekarang risk appetite yang sangat tinggi, mereka lebih masih lebih suka ke safe haven asset dan countries", ujar Perry.
Pernyataan ini datang usai Perry bertemu dengan sejumlah investor di Washington DC, Amerika Serikat, dalam rangka menjelaskan perkembangan terkini perekonomian Indonesia.
Dampak Kebijakan Tarif AS Terhadap Aliran Modal
Perry menjelaskan bahwa kebijakan tarif dari Amerika Serikat telah menciptakan ketidakpastian jangka pendek yang cukup tinggi di kalangan investor global.
Hal ini tercermin dari meningkatnya indeks ketidakpastian kebijakan ekonomi (economic policy uncertainty) dan ketidakpastian kebijakan perdagangan (trade policy uncertainty), bahkan lebih tinggi dibandingkan masa awal pandemi COVID-19.
Indikator lain seperti credit default swap juga menunjukkan peningkatan, mencerminkan premi risiko yang lebih tinggi di mata investor global.
"Intinya bahwa kebijakan tarif ini menyebabkan pelaku investor global itu risk appetite-nya sangat tinggi. Karenanya, pelaku investor global memindahkan investasi portfolio-nya ke negara dan aset yang dianggap aman, safe haven asset and countries", jelas Perry.
Aliran modal pun mulai berpindah dari pasar negara berkembang menuju negara-negara dengan ekonomi yang dianggap lebih stabil, seperti obligasi pemerintah di Eropa dan Jepang.
Data BI menunjukkan bahwa dari awal tahun 2025 hingga akhir Maret, Indonesia masih mencatatkan net inflow sebesar 1,6 miliar dolar AS ke dalam investasi portofolio, terutama pada Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Namun, setelah pengumuman kebijakan tarif pada awal April, terjadi net outflow sebesar 2,8 miliar dolar AS.
"Ini sekali lagi tidak berkaitan atau disebabkan imbal hasil yang menarik atau perbedaan yield suku bunga dalam negeri maupun luar negeri, tapi lebih karena risk appetite investor global yang sangat-sangat tinggi, sehingga mereka menarik modalnya tidak hanya dari Indonesia, tapi juga dari emerging market lain", kata Perry.
Ia menambahkan bahwa proses negosiasi antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Amerika Serikat terkait kebijakan tarif sedang berlangsung dengan baik.
Perry optimistis bahwa seiring menurunnya risk appetite global, investor akan kembali menempatkan dananya di Indonesia mengingat imbal hasil yang menarik dan prospek ekonomi yang dinilai cukup kuat.
- Penulis :
- Arian Mesa








