
Pantau - Tahun 2025 mencatat peningkatan signifikan dalam tindak pidana korupsi, memperkuat keresahan publik yang tergambar dalam istilah sarkastik “Liga Korupsi Indonesia” untuk menyindir maraknya kasus korupsi lintas sektor.
Keberhasilan pemberantasan korupsi selama ini masih diukur dari kinerja penindakan lembaga seperti KPK, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian.
Namun, data menunjukkan penurunan jumlah penyelidikan KPK dari 127 kasus pada 2023 menjadi 73 kasus pada 2024, yang menimbulkan tafsir ganda: apakah ini buah dari pencegahan yang efektif, atau justru sinyal melemahnya penegakan hukum?
Ketimpangan Penindakan, Sektor Swasta Jadi Pelaku Sentral
Kejaksaan Agung kini tampak lebih dominan dalam mengungkap mega korupsi, seperti kasus Jiwasraya (Rp16,81 triliun), ekspor CPO (Rp6 triliun), Duta Palma (Rp104 triliun), tata niaga timah (Rp300 triliun), hingga tata kelola minyak mentah (Rp968,5 triliun).
Pelaku korupsi kini tak lagi didominasi birokrat, tapi meluas ke sektor swasta, mencerminkan relasi simetris antara pembuat kebijakan dan pelaku usaha, terutama dalam perkara penyuapan.
Suap kerap dilakukan untuk mempercepat perizinan atau mengurangi beban pajak, sebagaimana dijelaskan oleh Ackerman (2006), sementara data Trace Matrix 2024 menempatkan Indonesia di posisi ke-66 dari 194 negara dalam risiko suap bisnis.
Lemahnya Institusi Publik dan Ambiguitas Regulasi
Kelembagaan publik yang lemah, ditambah regulasi yang tumpang tindih, disebut sebagai pemicu utama korupsi, meski reformasi hukum dan infrastruktur kelembagaan telah menunjukkan kemajuan.
Namun, skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih stagnan di angka 37 dari 100, dan menempatkan negara ini di peringkat ke-99 dari 180 negara versi Transparency International 2024.
Motif korupsi tak lepas dari dorongan keserakahan dan kapitalisme global, sebagaimana tergambar dalam bocoran dokumen Panama, Paradise, dan Pandora Papers.
Gratifikasi, Efisiensi Ekonomi, dan Akar Teoritis Korupsi
UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 jo. 20 Tahun 2001 memperluas definisi korupsi hingga ke ranah gratifikasi, terutama yang berkaitan dengan jabatan dan bertentangan dengan tugas resmi penerima.
Beberapa studi bahkan menyebut bahwa dalam konteks tertentu, korupsi bisa memberikan efek efisiensi terhadap ekonomi, khususnya dalam sektor perizinan, sebagaimana dikemukakan Leff, Huntington, Summers, dan Acemoglu.
Namun sampai hari ini, belum ada jawaban final: apakah korupsi lebih banyak disebabkan oleh kegagalan institusional atau murni didorong motif ekonomi para pelaku?
Ke depan, tantangan terbesar bukan hanya pada pemberantasan, tetapi juga kodifikasi suap di sektor swasta dan kemampuan lembaga hukum merespons modus baru yang makin kompleks.
- Penulis :
- Gian Barani