
Pantau - Tempalak mirah (Betta burdigala), ikan mungil berwarna merah marun yang hanya ditemukan di Pulau Bangka bagian selatan, kini menghadapi ancaman kepunahan akibat kerusakan habitat oleh tambang timah, ekspansi sawit, permukiman, dan pencemaran lingkungan.
Dalam dua dekade terakhir, rawa-rawa dan sungai kecil tempat hidup tempalak mirah di Desa Bikang, Bangka Selatan, telah beralih fungsi menjadi lahan kebun dan pemukiman.
IUCN mengklasifikasikan tempalak mirah sebagai Critically Endangered (CR), artinya satu langkah lagi menuju kepunahan di alam liar.
Dari rawa ke ruang kelas: Budaya, konservasi, dan peluang ekonomi kreatif
Swarlanda dari Yayasan Ikan Endemik Kepulauan Babel menekankan pentingnya relasi manusia dengan lingkungan dalam menjaga keberadaan tempalak mirah.
Sayangnya, sebagian pihak masih menganggap ikan ini tidak penting karena tidak bernilai ekonomi langsung.
Padahal, jika dikelola kreatif melalui akuarium endemik, ekowisata, atau edukasi, tempalak mirah dapat menjadi bagian dari ekonomi berbasis lingkungan.
Strategi pelestarian harus dimulai dari perlindungan habitat melalui zonasi perairan kecil, pelestarian lahan basah, dan penghentian alih fungsi lahan.
Integrasi konservasi ke dalam kurikulum lokal dan pembangunan museum mini di sekolah-sekolah dapat menumbuhkan kesadaran ekologis generasi muda Bangka Selatan.
Tempalak mirah juga telah dicatat sebagai Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) oleh Kanwil Kemenkumham Babel, sebagai bentuk pelestarian berbasis budaya.
Arif Wibowo dari KKP menyatakan telah dilakukan pengembangan budidaya ikan hias lokal, termasuk tempalak mirah, di 887 kolong bekas tambang seluas 1.712 hektare di seluruh Bangka Belitung.
Dengan pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan pembangunan dan penerapan prinsip kehati-hatian lingkungan, tempalak mirah bisa menjadi simbol perjuangan ekologis dan pembangunan berkelanjutan khas Bangka Belitung.
- Penulis :
- Balian Godfrey