
Pantau - Sejumlah novel populer seperti Laskar Pelangi, Negeri 5 Menara, 9 Summers 10 Autumns, dan Mimpi Sejuta Dolar menyuarakan benang merah yang sama: tentang perjuangan keras menembus batas keterbatasan untuk meraih mimpi.
Dalam Laskar Pelangi, anak-anak miskin di Belitong tetap bermimpi besar meski hidup dalam keterbatasan.
Negeri 5 Menara menekankan pentingnya prinsip “man jadda wajada” dalam perjuangan meraih sukses.
9 Summers 10 Autumns bercerita tentang anak sopir angkot yang berhasil menjadi direktur perusahaan riset ternama di New York.
Mimpi Sejuta Dolar mengisahkan Merry Riana yang bertahan di Singapura saat krisis moneter 1998 dan menjadi pengusaha sukses.
Cerita-cerita ini disukai karena mencerminkan kenyataan hidup masyarakat Indonesia yang ingin naik kelas sosial lewat kerja keras dan ketekunan.
Dari Desa ke Dunia, Dari Rakyat ke Pemimpin: Proses Adalah Hukum Alam
Kisah nyata juga hadir di Desa Jatimakmur, Brebes, lewat Maulida Azzahra yang diterima di empat universitas dunia dan memilih New York University.
Kakaknya, Khaidar Khamzah, lulus dari University of Toronto setelah diterima di 13 universitas ternama.
Orangtua mereka hanyalah petani dan ibu rumah tangga lulusan madrasah tsanawiyah.
Ada pula Angga Fauzan, CEO MySkill, yang berasal dari keluarga penjual ayam goreng dan sempat tinggal di bekas kandang kambing.
Setelah diterima di ITB, ia meraih beasiswa ke University of Edinburgh, mendirikan MySkill, dan mendapat pendanaan dari East Ventures.
"Saya ingin menolong lebih banyak Angga-Angga lainnya agar bisa meraih mimpinya", ujar Angga.
Kisah-kisah ini membuktikan bahwa proses adalah hukum alam, dan jalan pintas justru sering berujung pada musibah.
Ketika orang-orang yang tak kompeten memegang posisi penting karena nepotisme, bangsa akan kehilangan daya saing.
Proses Tokoh Bangsa: Bukan Warisan, Tapi Jalan Terjal
Tokoh bangsa juga menempuh jalan panjang, bukan sekadar warisan nama besar.
Megawati Soekarnoputri meniti karier dari pinggiran politik sebelum akhirnya menjadi Presiden RI kelima.
Puan Maharani memulai sebagai wartawan magang dan kini menjadi Ketua DPR perempuan pertama di Indonesia.
Putri-putri Bung Hatta dan Gus Dur tidak mendapat keistimewaan, melainkan meniti perjuangan mereka sendiri—baik di bidang pendidikan, sosial, seni, hingga toleransi.
Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) pun menempuh pendidikan militer, tugas internasional, dan berproses dari bawah dalam dunia politik.
Di dunia bisnis, banyak pengusaha mendidik anak-anaknya tanpa memanjakan, tapi melalui pendidikan terbaik, pengalaman, dan tanggung jawab bertahap.
Semua itu membuktikan: tidak ada keunggulan tanpa perjuangan, dan tidak ada perjuangan tanpa proses.
Bangsa yang Percaya Keringat, Bukan Warisan
Sejarah Indonesia adalah proses panjang: Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945, Revolusi 1966, hingga Reformasi 1998.
Namun kini, praktik jalan pintas dan nepotisme perlahan menggerogoti ketangguhan bangsa.
Di Hari Kebangkitan Nasional ini, bangsa Indonesia harus kembali menjunjung tinggi meritokrasi dan menghargai proses.
Ketika meritokrasi digantikan oleh nepotisme, maka keadilan dan kualitas akan terkubur.
Bangsa besar adalah bangsa yang percaya pada keringat, bukan warisan.
Proses tak pernah mengkhianati hasil, dan mereka yang membajak proses akan tertinggal oleh sejarah.
Sudirman Said adalah Ketua Institut Harkat Negeri.
- Penulis :
- Balian Godfrey