
Pantau - Institute for Essential Services Reform (IESR) menegaskan perlunya pengawasan ketat dari pemerintah terhadap implementasi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034 agar target energi terbarukan dapat tercapai dan krisis listrik bisa dihindari.
Menurut Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dukungan yang diperlukan antara lain berupa penyesuaian kebijakan dan regulasi, tarif yang mendukung kelayakan proyek, mekanisme pelelangan yang transparan, serta peningkatan kapasitas keuangan PLN untuk berinvestasi.
"Dengan demikian pembangunan pembangkit energi terbarukan dapat terealisasi sesuai periode waktu tersebut dan mencegah munculnya krisis listrik", ujarnya.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengesahkan RUPTL PLN 2025–2034 pada 26 Mei 2025.
RUPTL tersebut menargetkan tambahan kapasitas pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 42,6 GW (61 persen) dan kapasitas penyimpanan daya (storage) sebesar 10,3 GW (15 persen).
Namun, target ini masih berada di bawah komitmen Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar 56 GW pada 2030 dan dinilai tidak memadai untuk membatasi kenaikan temperatur global hingga maksimal 1,5°C sesuai Persetujuan Paris.
Fabby juga menyoroti lemahnya eksekusi RUPTL sebelumnya, di mana realisasi pembangkit yang berhasil commercial operation date (COD) hingga semester I 2025 hanya mencapai 1,6 GW dari target 10 GW.
Proporsi Energi Fosil Masih Tinggi, PLN Perlu Percepat Pembangunan EBT
Dalam RUPTL ini, energi surya menjadi kontributor utama dengan 17,1 GW, disusul air (11,7 GW), angin (7,2 GW), panas bumi (5,2 GW), bioenergi (0,9 GW), dan nuklir (0,5 GW) — untuk pertama kalinya tercantum dalam RUPTL.
Namun demikian, IESR mengkritik masih besarnya proporsi batu bara (6,2 GW), gas (10,3 GW), dan dimasukkannya PLTN yang dinilai belum memiliki landasan kebijakan dan regulasi yang jelas.
Fabby mengungkapkan bahwa ketergantungan pada gas sangat berisiko karena fluktuasi harga dan persoalan pasokan, sementara keberadaan PLTU 2,8 GW pasca-2030 bertentangan dengan target net zero emission (NZE) 2060.
Pengembangan PLTN juga dinilai perlu kajian lebih lanjut karena belum ada keputusan resmi dari presiden, regulasi keamanan yang belum memadai, teknologi yang belum jelas, serta rendahnya penerimaan publik.
Fabby menegaskan bahwa pengembangan EBT justru merupakan pilihan yang lebih rendah risiko karena meningkatkan keandalan sistem dan menekan biaya energi masyarakat.
RUPTL PLN juga mencatat keterlibatan investor swasta (IPP) dengan nilai investasi pembangkit EBT mencapai Rp1.341,8 triliun.
Deon Arinaldo, Manajer Program Sistem Transformasi Energi IESR, menyebut potensi 333 GW EBT di Indonesia, dengan sekitar 60 persen memiliki economic internal rate of return (EIRR) di atas 10 persen berdasarkan tarif Perpres 112/2022.
PBJT Dinilai Kunci Percepat Investasi EBT, PLN Tetap Pegang Peran Strategis
Salah satu langkah percepatan yang disarankan adalah fasilitasi Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) sebagai strategi memperluas pengembangan EBT.
Kepastian kebijakan PBJT diyakini dapat meningkatkan partisipasi swasta, mendorong keterlibatan konsumen energi, serta menjadi sumber pendapatan tambahan bagi PLN.
IESR telah menerbitkan kajian potensi EBT sebesar 333 GW yang layak secara finansial dan bersama RE100 serta IEEFA memberikan rekomendasi PBJT sebagai referensi kebijakan.
Rekomendasi tersebut menempatkan PLN tetap sebagai pemilik utama jaringan transmisi, namun membuka peluang percepatan atau bahkan pencapaian target RUPTL secara lebih ambisius.
- Penulis :
- Balian Godfrey