billboard mobile
Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Johan Soroti Krisis Pangan Akibat Perang Timur Tengah

Oleh Khalied Malvino
SHARE   :

Johan Soroti Krisis Pangan Akibat Perang Timur Tengah
Foto: Anggota MPR RI Fraksi PKS, Johan Rosihan. (Dok/DPR RI)

Pantau - Anggota MPR RI Fraksi PKS, Johan Rosihan, memperingatkan konflik bersenjata antara Iran dan Israel, serta campur tangan Amerika Serikat (AS) berdampak langsung terhadap stabilitas pangan nasional.

Gejolak geopolitik tersebut memicu harga minyak mentah dunia melonjak. Dampaknya, biaya logistik distribusi pangan dan operasional pertanian dalam negeri ikut membengkak.

“Perang yang terjadi di Timur Tengah kini menjelma menjadi krisis global yang turut mengancam stabilitas harga pangan di dalam negeri,” ujar Johan Rosihan dalam keterangannya di Jakarta, Senin (23/6/2025).

Johan menegaskan bahwa lonjakan harga minyak mengerek biaya transportasi, menyebabkan harga komoditas naik, dan memperberat beban petani.

Krisis Pangan Akibat Minyak Global

Harga minyak Brent sempat menyentuh US$93 per barel saat tensi konflik meningkat. Data terakhir mencatat rata-rata Brent turun ke US$79,21 per Juni 2025, namun tetap belum stabil. Harga ICP Indonesia juga anjlok dari US$76,81 pada Januari menjadi US$62,75 per Mei 2025.

Kondisi ini mengakibatkn risiko biaya produksi dan distribusi pangan nasional semakin tidak terprediksi. Johan menilai dampaknya bukan hanya ekonomi, tetapi juga sosial dan kesehatan.

“Harga Brent pernah menyentuh 93 dolar AS per barel. Di Indonesia, ini artinya biaya distribusi pangan naik, transportasi terganggu, dan ongkos usaha tani melonjak. Petani kita menanggung beban ganda,” jelasnya.

Menurutnya, kenaikan harga bahan pokok menyebabkan penurunan daya beli masyarakat secara luas. Hal ini memicu kenaikan angka kemiskinan dan memperparah masalah gizi, khususnya pada anak-anak.

Sistem Pangan Nasional Rentan

Indonesia tercatat sebagai negara ketiga tertinggi dalam indeks kelaparan ASEAN tahun 2020. Johan menyebut fakta ini sebagai cermin kerentanan sistem pangan nasional terhadap guncangan global.

“Kondisi ini memperlihatkan bahwa sistem pangan nasional kita masih sangat rentan terhadap guncangan global. Ketergantungan impor untuk komoditas strategis seperti kedelai, gandum, dan bawang putih semakin memperparah risiko ketahanan pangan,” tegas anggota DPR Komisi IV ini.

Data BPS menunjukkan ketergantungan impor kedelai mencapai 78,44 persen, gandum hampir 100 persen, dan bawang putih di atas 90 persen. Pada Desember 2023, impor bawang putih bahkan mencapai 95 persen.

Solusi Struktural Jangka Panjang

Johan Rosihan menyatakan, respons jangka pendek seperti impor dan operasi pasar tidak menyelesaikan masalah fundamental. Ia menawarkan pendekatan kebijakan struktural berbasis energi, hilirisasi, dan distribusi pangan.

“Langkah reaktif seperti penambahan impor atau operasi pasar belum cukup menjawab tantangan struktural tersebut,” katanya.

Ia menyarankan percepatan transisi energi di sektor pertanian melalui elektrifikasi irigasi. Di Cirebon, petani berhasil menurunkan ongkos irigasi dari Rp4,8 juta menjadi Rp720 ribu per musim tanam.

PLN mencatat program Electrifying Agriculture telah menjangkau lebih dari 240.000 peserta dan konsumsi listrik khusus pertanian meningkat 9% menjadi 5 TWh pada akhir 2023.

Dorong Kebijakan Energi Pangan

Johan juga menekankan pentingnya hilirisasi produk pertanian. Ia mengutip studi bahwa setiap kenaikan satu unit kebijakan hilirisasi dapat meningkatkan performa keuangan perusahaan di sektor pertanian sebesar 3,309 unit.

Pemerintah, melalui Kementerian Pertanian (Kementan) menargetkan ekspor kelapa meningkat dari Rp20 triliun menjadi Rp60 triliun berkat hilirisasi. Langkah ini diyakini mampu menciptakan lapangan kerja baru dan mengurangi impor pangan strategis.

Selain itu, ia menyoroti pentingnya sistem distribusi pangan yang terintegrasi dan berbasis energi terbarukan. Tujuannya menekan biaya logistik, mengurangi kerugian pascapanen, dan menjaga pasokan di seluruh wilayah Indonesia.

“Konsep ini, yang merupakan perpanjangan logis dari transisi energi di sektor pertanian, bertujuan untuk mengurangi biaya logistik, meminimalkan kerugian pascapanen, dan memastikan ketersediaan pangan yang lebih stabil di seluruh wilayah,” tambah Johan.

Ketahanan Pangan Harus Prioritas

Ia menyimpulkan, ketahanan pangan bukan hanya isu pertanian, tetapi bagian dari strategi keamanan nasional.

“Jika negara ingin tahan terhadap krisis global, maka dapur rakyat harus dijaga. Ketahanan pangan harus menjadi prioritas kebijakan fiskal, energi, dan perdagangan kita,” kata Johan.

“Ketahanan pangan bukan sekadar isu ekonomi atau pertanian, melainkan pilar fundamental dari stabilitas dan pertahanan nasional. Krisis pangan dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi, politik, dan sosial yang mendalam. Mengintegrasikan ketahanan pangan ke dalam strategi pertahanan nasional adalah hal yang terpenting untuk menjaga ketahanan jangka panjang, kedaulatan, dan kesejahteraan warga negara,” sambungnya.

Penulis :
Khalied Malvino
Editor :
Tria Dianti