
Pantau - Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi menegaskan bahwa sampah pangan masih memiliki nilai ekonomi dan harus dimanfaatkan semaksimal mungkin sebelum dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA).
"Makanya kita reduce sama-sama, nggak bisa sendiri, jadi ada incinerator segala macem itu terakhir. Yang harus kita lakukan sebelum jadi sampah pangan kita harus bisa manfaatkan," ungkapnya.
Pemanfaatan Sebelum Pembuangan, Libatkan Banyak Pihak
Arief menyebut pengelolaan sampah pangan tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja, tetapi membutuhkan kolaborasi lintas sektor.
Pembuangan ke TPA harus menjadi pilihan paling akhir karena bahan pangan masih dapat diolah menjadi produk bernilai seperti kompos, pakan maggot, hingga minyak jelantah yang bisa dikumpulkan dan dijual kembali.
"Kalau masih bisa dimanfaatkan itu dibiasakan, sampah anorganik, sampah plastik. Yang plastik buat apa, yang organik buat apa. Jadi bicara food waste itu penanganannya terakhir yang dibuang ke TPA, itu terakhir," katanya.
Ia menekankan bahwa aspek ekonomi dari pengelolaan sampah harus dikomunikasikan dengan baik kepada publik.
"Kalo plastik itu ada pengumpulnya lagi, minyak jelantah ada pengumpulnya lagi. Dan itu masih jadi uang lagi loh, aspek ekonominya yang harus disampaikan kepada publik," tegasnya.
Kerugian Rp551 Triliun dan Emisi Gas Rumah Kaca
Direktur Kewaspadaan Pangan Bapanas, Nita Yulianis, menyatakan bahwa tingginya volume sampah pangan menyebabkan kerugian ekonomi hingga Rp551 triliun per tahun, setara dengan 4–5 persen dari PDB Indonesia.
"Akibat besarnya intensitas sampah pangan ini setidaknya dampak kerugian ekonomi yang diperkirakan mencapai sekitar Rp551 triliun per tahun atau setara dengan 4–5 persen PDB Indonesia," ujarnya.
Selain kerugian ekonomi, limbah makanan turut menyumbang emisi gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap krisis iklim.
Indonesia dilaporkan membuang antara 23 juta hingga 48 juta ton sampah makanan setiap tahun.
Libatkan Sektor Pariwisata dan Perluas Gerakan Selamatkan Pangan
Penanganan sisa pangan juga menjadi isu lintas sektor, termasuk sektor pariwisata yang turut menyumbang limbah makanan.
Nita mengajak pelaku industri pariwisata untuk ikut berkontribusi dalam pengelolaan sisa pangan demi mendukung pariwisata yang berkelanjutan.
Bapanas sendiri telah menginisiasi Gerakan Selamatkan Pangan (GSP) sejak 2022 dengan melibatkan akademisi, pelaku bisnis, masyarakat, pemerintah, dan media.
- Penulis :
- Aditya Yohan