
Pantau - Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinnizamy Karsayuda, menegaskan pentingnya mengoptimalkan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di seluruh daerah sebagai strategi utama dalam menyelesaikan konflik agraria yang masih marak terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
GTRA Jadi Jembatan Legalitas Tanah Adat dan Koordinasi Lintas Sektor
Pernyataan tersebut disampaikan Rifqi saat melakukan kunjungan kerja Komisi II DPR RI ke Kota Ternate, Maluku Utara, pada Senin, 28 Juli 2025.
Ia menyoroti lambannya proses penetapan peraturan daerah (perda) tentang tanah adat di banyak kabupaten/kota sebagai salah satu penyebab utama konflik lahan yang tak kunjung usai.
Menurut Rifqi, perda menjadi syarat legal formal yang krusial agar Kementerian ATR/BPN dapat memberikan pengakuan hukum terhadap tanah adat.
"Kenapa konflik agraria sering muncul? Karena di mata negara, alas hak tanah adat itu belum ada secara legal formal. Itu sebabnya GTRA di daerah harus bekerja aktif, memetakan, memitigasi, dan mengambil langkah kebijakan yang berpihak pada masyarakat," ungkapnya.
GTRA sendiri merupakan forum lintas sektor yang melibatkan unsur pemerintah pusat dan daerah, aparat penegak hukum, serta organisasi perangkat daerah (OPD) terkait.
Kepala daerah secara otomatis menjadi ketua GTRA di tingkat masing-masing, baik provinsi, kabupaten, maupun kota.
GTRA dibentuk secara nasional pada Mei 2025 oleh Pemerintah Pusat sebagai bagian dari percepatan reforma agraria yang lebih terkoordinasi dan responsif terhadap dinamika lokal.
"Banyak bangunan di daerah tidak punya HGB atau masa HGB-nya habis. Kementerian ATR punya datanya, tapi tak bisa serta-merta bertindak. Harus melibatkan penegak hukum. GTRA menjembatani koordinasi ini secara persuasif," jelas Rifqi.
Jika berjalan efektif, GTRA tidak hanya membantu penyelesaian konflik tanah, tetapi juga memberikan kepastian hukum atas aset negara dan meningkatkan penerimaan dari sektor pertanahan.
Komisi II Siap Kawal GTRA, Maluku Utara Butuh Dukungan Pusat
Komisi II DPR RI menyatakan komitmennya untuk terus memantau kinerja GTRA dan siap mengambil inisiatif koordinasi lintas kementerian jika diperlukan.
"Kami sudah mengundang 39 gubernur, termasuk Ibu Sherly Laos, ke Komisi II untuk menyampaikan berbagai persoalan. Sebagian besar masalah sudah mulai kami tindaklanjuti satu per satu dengan kementerian teknis," kata Rifqi.
Ia meminta kepala daerah memberi waktu bagi GTRA yang baru dibentuk pada 2025 untuk mulai bekerja secara maksimal.
"Ini masih awal. GTRA baru dibentuk tahun ini. Beri waktu satu-dua tahun. Saya yakin semua kepala daerah punya niat baik untuk rakyat," ujarnya.
Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda Laos, menyatakan komitmennya untuk mengoptimalkan peran GTRA di tingkat provinsi.
Menurut Sherly, baru sekitar 30 persen lahan di Maluku Utara yang memiliki sertifikat tanah, sementara sisanya terkendala oleh keterbatasan anggaran dan sumber daya teknis.
"Torang punya PR besar. Baru 30 persen tanah bersertifikat. Kalau bisa ada penambahan anggaran dan bantuan teknis dari pusat, saya yakin progresnya bisa lebih cepat," ungkapnya.
Sebagai Ketua GTRA Provinsi, Sherly menyambut baik arahan Komisi II dan menilai bahwa koordinasi dengan Kantor Wilayah BPN akan menjadi lebih jelas dengan adanya payung hukum dan struktur kerja GTRA.
"Dengan GTRA, kita jadi satu tim. Pemerintah daerah, pusat, dan BPN bekerja bersama untuk melegalitaskan tanah masyarakat. Tujuannya satu: kesejahteraan rakyat," tegasnya.
GTRA diharapkan mampu menyatukan berbagai elemen lintas sektor, memperbaiki tata ruang dan pertanahan, serta mengurangi konflik agraria, khususnya yang menyangkut tanah adat dan masyarakat lokal.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf