
Pantau - Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, menanggapi fenomena maraknya pengibaran bendera bergambar tengkorak bertopi ala film animasi One Piece di sejumlah daerah dengan menyerukan respons yang proporsional dan tidak berlebihan.
Bendera One Piece Bukan Simbol Terlarang
Willy menegaskan bahwa pengibaran bendera One Piece tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan pelecehan terhadap simbol negara.
Ia menjelaskan bahwa selama bendera tersebut tidak menggantikan atau merusak bendera Merah Putih, maka tidak ada pelanggaran serius yang terjadi.
"Selama tidak melecehkan Merah Putih, misalnya menempelkan simbol One Piece di atasnya, maka itu bukan pelanggaran serius. Saya lihat juga posisinya di bawah Merah Putih," ungkapnya.
Ia juga menyebut bahwa bendera bergambar tengkorak tersebut tidak tergolong sebagai bendera terlarang, seperti bendera separatis atau milik negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Willy mengajak masyarakat untuk tidak berlebihan dalam merespons fenomena ini dan tetap bersikap rasional.
"Membunuh nyamuk tidak perlu menggunakan granat atau mesiu. Responsnya harus tetap proporsional. Jangan sampai kita terjebak dalam provokasi," ia mengungkapkan.
Ajakan Perkuat Dialog dan Wujudkan Keadilan
Menurut Willy, ekspresi semacam ini lazim muncul dari kalangan muda yang dipenuhi idealisme, keberanian, dan semangat menggugat ketidakadilan.
Namun, ia menyayangkan bahwa semangat tersebut sering tidak disertai dengan pemahaman yang memadai.
"Ekspresinya jadi sporadis, meskipun genuine dan unik," katanya.
Ia menegaskan bahwa tugas negara adalah menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh warga.
"Kalau negara hadir dengan keadilan dan kesejahteraan, bendera One Piece pun tak akan digubris, karena gugatan itu tak relevan," ujar Willy.
Meski demikian, ia menolak pendekatan represif atau ajakan dialog langsung kepada pelaku pengibaran bendera tersebut.
"Fenomena semacam ini cukup dicermati dan dipahami. Jangan justru terjebak dalam provokasi," tegasnya.
Ia mengajak semua pihak untuk memperbaiki saluran komunikasi dalam kehidupan berbangsa demi mencegah lahirnya ekspresi-ekspresi yang salah alamat.
"Kalau tidak ada dialog, itu bukan bernegara, tapi berkuasa. Jangan-jangan ini muncul karena ruang-ruang dialog tersumbat," ujarnya.
Sebagai penutup, Willy menyampaikan pesan agar masyarakat tetap memperjuangkan keadilan dengan cara yang benar dan tidak merusak tatanan yang ada.
"Menggugat ketidakadilan itu bagus, tapi jangan salah alamat. Jangan lupa, Indonesia ini rumah kita. Kalau ada tikus di rumah, jangan rumahnya yang dibakar," pungkasnya.
- Penulis :
- Shila Glorya