
Pantau - Warga pemilik Ruko Marinatama Mangga Dua (MMD), Pademangan, Jakarta Utara, mengaku mendapat teror dari orang tak dikenal setelah mengikuti sidang lanjutan perkara pembatalan Sertifikat Hak Pakai (SHP) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Selasa, 2 September 2025.
Sidang tersebut mengagendakan jawaban dari pihak tergugat, yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Utara, terkait gugatan yang diajukan oleh 42 warga pemilik ruko.
Kuasa hukum warga, Subali, menyatakan teror terjadi hanya beberapa jam setelah sidang berlangsung.
CCTV Rekam Aksi Misterius di Depan Ruko
Berdasarkan rekaman kamera pengawas (CCTV), dua orang berpakaian hitam dan memakai sweater abu-abu dengan penutup kepala terlihat menyiram pasir di depan ruko milik warga yang menggugat pada Rabu, 3 September 2025 sekitar pukul 01.20 WIB.
"Saya tidak mengerti apa tujuan mereka meneror dengan menaruh pasir di setiap masing-masing pemilik ruko di sini," ujar salah satu warga berinisial PY.
Subali menilai tindakan tersebut sebagai bentuk intimidasi yang tidak bisa dianggap remeh, apalagi terjadi setelah proses hukum sedang berjalan.
BPN Menilai Gugatan Kedaluwarsa, Warga Bersikukuh
Dalam sidang perkara Nomor 236/G/2025/PTUN-JKT yang dipimpin oleh Hakim Ketua Dwika Hendra Kurniawan, BPN Jakarta Utara menyampaikan bahwa gugatan warga sudah kedaluwarsa karena melewati batas tenggang waktu.
BPN menjelaskan bahwa surat keberatan dari warga diterima pada 28 Mei 2025 dan dijawab pada 28 Juli 2025.
Menurut BPN, hal itu telah melampaui batas waktu yang diatur dalam pasal terkait, sehingga pembatalan sertifikat hanya dapat dilakukan melalui jalur peradilan.
Namun, Subali menilai jawaban dari tergugat sangat sumir.
"Proses PTUN tidak mengenal eksepsi, terlebih perkara ini sudah lolos proses dismissal dan sidang persiapan, sehingga PTUN Jakarta berwenang mengadili perkara," tegasnya.
Sengketa Bermula dari Janji SHGB yang Tak Terpenuhi
Sebanyak 42 warga pemilik ruko mengajukan gugatan pembatalan SHP Nomor 477 pada akhir Juli 2025.
Mereka membeli ruko-ruko tersebut sejak 1997 melalui Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan PT Wisma Benhil (WB), dengan janji akan memperoleh Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).
Namun pada tahun 2001, BPN Jakarta Utara tiba-tiba menerbitkan SHP Nomor 477, sementara SHGB yang dijanjikan tak kunjung diterbitkan.
Ruko-ruko itu kini dikelola oleh sebuah koperasi dari salah satu institusi, dan warga diminta membayar biaya sewa perpanjangan sebesar Rp300 juta per tahun.
Meski diberikan potongan hingga 50 persen sehingga menjadi Rp150 juta, para pemilik ruko tetap menilai nominal tersebut tidak masuk akal.
Proses hukum masih berjalan, dan warga berharap PTUN Jakarta dapat memberikan keadilan atas hak kepemilikan mereka yang dianggap telah dirugikan selama bertahun-tahun.
- Penulis :
- Aditya Yohan