
Pantau - Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, menyatakan bahwa Indonesia seharusnya bisa membangun aplikasi ojek online (ojol) sendiri guna menyejahterakan para pengemudi dan mengurangi ketergantungan pada aplikasi swasta.
"Jika negara mengakui pengemudi ojek online (ojol) sebagai lapangan pekerjaan baru, maka idealnya negara membuat aplikasi sendiri untuk menyejahterakan warganya," ungkap Djoko.
Ia mencontohkan negara-negara seperti China, Korea Selatan, Jepang, Vietnam, dan India yang telah memiliki platform transportasi berbasis aplikasi milik negara.
Dengan memiliki aplikasi sendiri, pemerintah dapat mengatur kebijakan yang lebih pro-pengemudi, termasuk memastikan potongan biaya layanan tidak melebihi 10 persen.
Saat ini, potongan dari aplikasi swasta disebut telah mencapai lebih dari 20 persen dan dianggap memberatkan pengemudi.
"Hal ini berbeda dengan kondisi saat ini, meskipun dianggap sebagai lapangan pekerjaan, pengemudi merasa terbebani dengan potongan biaya yang mencapai lebih dari 20 persen," tambah Djoko.
Ojol Dianggap Lemah dari Sisi Hukum dan Keselamatan
Djoko juga menyarankan agar pengelolaan aplikasi ojol milik negara dapat diserahkan kepada pemerintah daerah (pemda) untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik masing-masing wilayah.
Pernyataan ini muncul di tengah aksi unjuk rasa para pengemudi ojol di Jakarta, termasuk di depan gedung DPR/MPR RI, yang menolak pemotongan tarif aplikasi sebesar 10 persen.
Namun, pemerhati transportasi Muhammad Akbar mengingatkan bahwa secara hukum, posisi ojek online masih lemah karena tidak diakui dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
"Sepeda motor tidak termasuk di dalamnya. Artinya, secara hukum ojol tidak diakui sebagai angkutan umum," jelas Akbar.
Ia menambahkan bahwa operasional ojol selama ini hanya diatur melalui Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 12 Tahun 2019 yang bersifat sementara dan belum memiliki kekuatan hukum sekuat undang-undang.
Akibatnya, pengemudi dan penumpang ojol tidak memiliki perlindungan hukum yang memadai apabila terjadi kecelakaan, sengketa tarif, atau klaim asuransi.
Aturan teknis yang berlaku saat ini dinilai hanya mengatur aspek operasional tanpa menjamin hak dan kewajiban secara menyeluruh.
Dari sisi keselamatan, ojol juga dinilai sangat terbatas karena hanya mengandalkan helm, berbeda dengan angkutan umum resmi seperti bus atau kereta yang memiliki perlengkapan keselamatan lengkap seperti sabuk pengaman dan struktur karoseri.
"Negara berada dalam posisi dilematis yakni tetap konsisten membangun transportasi massal yang modern dan efisien, atau mengikuti tekanan politik dan popularitas ojol di masyarakat, demi jutaan pengemudi yang menggantungkan hidupnya di jalan," kata Akbar.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf
- Editor :
- Ahmad Yusuf