Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Pelajaran dari Deretan Permintaan Maaf Pejabat Publik

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

Pelajaran dari Deretan Permintaan Maaf Pejabat Publik
Foto: (Sumber: Arsip foto - Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo (tengah) didampingi keluarga korban pengemudi ojek online yang meninggal terlindas mobil rantis Brimob memberikan keterangan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Jumat (29/8/2025). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.)

Pantau - Dalam beberapa bulan terakhir, publik menyaksikan fenomena meningkatnya permintaan maaf dari sejumlah pejabat publik, mulai dari menteri hingga anggota parlemen.

Rentetan Permintaan Maaf

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa meralat ucapannya tentang "tuntutan rakyat 17+8" yang sebelumnya dinilai meremehkan suara masyarakat.

Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid juga meminta maaf atas candaan terkait tanah terlantar yang menuai kritik keras.

Di parlemen, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyampaikan permintaan maaf atas kekeliruan lembaga legislatif, sementara anggota DPR Ahmad Sahroni menyesali ucapannya yang menyebut pengkritik DPR sebagai "orang tolol sedunia".

Anggota DPR lainnya, Eko Patrio, mengunggah video permintaan maaf setelah tingkah lakunya dianggap tidak pantas.

Selain itu, sejumlah pejabat lain juga sempat meminta maaf karena keselip lidah, meski tidak disebutkan secara rinci.

Rentetan permintaan maaf tersebut dipandang mulia karena menunjukkan kepedulian terhadap kritik publik, namun masyarakat berhak bertanya apakah permintaan maaf itu tulus atau sekadar strategi politik untuk meredam kemarahan sesaat.

Kemarahan publik sendiri sempat memicu demonstrasi yang berujung pada korban jiwa.

Tanggung Jawab Moral di Balik Kata Maaf

Filsuf Immanuel Kant menekankan bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan alat.

Ketika pejabat berbicara sembarangan, seperti menyebut rakyat "tolol sedunia", secara etis mereka memperlakukan masyarakat sebagai objek belaka.

Permintaan maaf baru bermakna jika disertai perubahan sikap dan kebijakan.

Tanpa tindak lanjut, maaf hanya menjadi formalitas.

Hannah Arendt mengingatkan bahwa pejabat publik tidak bisa lari dari konsekuensi tindakan mereka, sementara Paul Ricoeur menekankan bahwa maaf sejati membuka jalan bagi rekonsiliasi dan kepercayaan baru.

Dalam konteks pejabat publik, permintaan maaf seharusnya diikuti langkah konkret, seperti merancang kebijakan fiskal yang lebih responsif, membuat kanal dengar pendapat publik secara reguler, mengurangi fasilitas mewah pribadi, hingga mempercepat pembahasan RUU perampasan aset.

Kritik atas Maaf yang Dangkal

Permintaan maaf tanpa kesadaran mendalam justru memperkuat kecurigaan bahwa pejabat lebih mementingkan citra dibanding integritas.

Namun, fakta bahwa banyak pejabat kini merasa perlu meminta maaf menunjukkan kontrol sosial publik masih bekerja.

Gelombang kritik, aksi mahasiswa, hingga suara warganet terbukti mampu mendorong pejabat mengubah sikap.

Mengutip Zygmunt Bauman, dalam era "modernitas cair" batas antara kuasa negara dan suara publik makin kabur, sehingga pejabat tidak bisa lagi bersembunyi dari sorotan masyarakat.

Transparansi kini menjadi sesuatu yang tak terhindarkan.

Penulis :
Aditya Yohan