
Pantau - Warga Wera, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), memblokir jalan pada Selasa sebagai bentuk kekecewaan mendalam terhadap lambatnya penanganan pasca banjir yang merusak ribuan hektare sawah, rumah, dan jaringan irigasi.
Aksi ini mencerminkan frustrasi warga yang merasa ditinggalkan pemerintah, terutama setelah bantuan yang dijanjikan tak kunjung datang.
Protes tersebut juga memicu pertanyaan publik soal transparansi penggunaan Belanja Tidak Terduga (BTT) dalam APBD-P NTB 2025 yang totalnya mencapai Rp500 miliar.
Dana Rp500 Miliar Hampir Habis, Publik Tak Dapat Laporan Rinci
Dari total Rp500 miliar dana BTT, tercatat bahwa lebih dari Rp484 miliar telah terpakai, menyisakan hanya sekitar Rp16 miliar.
Namun, tidak ada laporan rinci yang disampaikan kepada publik terkait untuk apa saja dana tersebut digunakan.
Pergeseran anggaran BTT dilakukan dua kali melalui Peraturan Gubernur (Pergub), masing-masing sebesar Rp130 miliar dan Rp210 miliar, tanpa penjelasan detail kepada masyarakat atau DPRD.
Kondisi ini menimbulkan keraguan besar di tengah masyarakat, apakah penggunaan dana benar-benar sesuai kebutuhan darurat, atau justru digunakan untuk kepentingan lain yang tidak mendesak.
Dari sisa Rp16 miliar, hanya sekitar Rp3,65 miliar yang dialokasikan untuk penanganan darurat di Kabupaten Bima dan Dompu.
Rinciannya, Dompu hanya menerima Rp296 juta, sementara Kabupaten Bima sekitar Rp3,35 miliar untuk delapan paket pekerjaan jalan, jumlah yang dinilai tidak sebanding dengan kerusakan besar akibat banjir.
Anggota DPRD NTB, Muhammad Aminurlah, menyoroti minimnya perhatian terhadap irigasi yang rusak akibat banjir.
"Bagaimana sawah bisa ditanami kalau irigasi rusak?" ungkapnya dalam rapat evaluasi anggaran.
BTT Diduga Disalahgunakan, DPRD Kritik Penyertaan Modal BUMD Bermasalah
Padahal menurut regulasi, BTT hanya boleh digunakan untuk keadaan darurat, tak terduga, dan berdampak signifikan.
Namun, praktik di NTB menunjukkan bahwa BTT digunakan secara fleksibel dan tidak transparan, bahkan untuk keperluan yang bukan darurat, seperti penyertaan modal ke PT Gerbang NTB Emas (GNE) yang sedang bermasalah secara finansial.
DPRD NTB mengkritik keras rencana penyertaan modal Rp8 miliar ke BUMD tersebut, dan menyebut bahwa dana darurat seharusnya digunakan untuk membantu rakyat saat bencana, bukan menyuntik perusahaan daerah yang merugi.
Minimnya transparansi membuka peluang penyalahgunaan dan potensi persoalan hukum.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menegaskan pentingnya pencatatan akuntabel terhadap penggunaan BTT agar tidak menjadi “lubang hitam” dalam struktur APBD.
Banyak kasus penyalahgunaan BTT sebelumnya telah berujung pada proses hukum akibat tidak adanya prosedur yang ketat dan terbuka.
Sebagai pembanding, Provinsi Jawa Tengah mewajibkan laporan realisasi BTT dipublikasikan secara berkala di situs resmi, sementara Provinsi Aceh menerapkan mekanisme audit cepat untuk pengeluaran BTT di atas Rp1 miliar.
NTB Disarankan Lakukan Reformasi Tata Kelola Dana Darurat
Untuk memperbaiki tata kelola BTT, NTB disarankan mengambil tiga langkah konkret:
Membuka laporan penggunaan BTT ke publik secara rutin dan transparan.
Memperkuat mitigasi bencana agar kebutuhan dana darurat bisa ditekan dengan kesiapsiagaan.
Menegaskan batas penggunaan BTT hanya untuk krisis publik, bukan untuk penyertaan modal atau proyek non-darurat.
BTT seharusnya menjadi wujud nyata kehadiran negara di saat rakyat berada dalam kondisi paling rentan, bukan sekadar pos anggaran fleksibel yang bisa dimanfaatkan tanpa pengawasan.
Warga Wera yang kecewa dan turun ke jalan adalah simbol kegagalan pengelolaan dana darurat yang tidak tepat sasaran.
APBD-P 2025 memang telah disahkan, tetapi pengawasan terhadap BTT harus diperkuat agar tidak menjadi anggaran gelap yang manfaatnya tak bisa dijelaskan ke masyarakat.
Transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan kepada rakyat harus menjadi prinsip utama pengelolaan dana ini.
Pertanyaan kritis pun muncul: Apakah NTB siap menjadikan BTT sebagai instrumen nyata untuk rakyat, atau membiarkannya tetap jadi "kotak hitam" yang hanya diketahui segelintir orang?
Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan apakah kepercayaan publik tetap terjaga, atau justru runtuh—seperti tanggul jebol di Wera.
- Penulis :
- Aditya Yohan