
Pantau - Indonesia dinilai perlu melakukan lompatan paradigma dalam pembangunan infrastruktur, dari pendekatan konvensional berbasis beton dan baja menuju infrastruktur modern yang terintegrasi, hijau, dan digital.
Hal ini disampaikan Dr. Aswin Rivai dalam artikel bertajuk "Transformasi Infrastruktur Indonesia, Bersiap untuk Lompatan Paradigma", sebagai respons terhadap tantangan geografis dan kebutuhan pembangunan nasional di era baru.
Infrastruktur kini tidak lagi hanya mencakup jalan, jembatan, dan pelabuhan, tetapi juga merambah ke jaringan digital, energi terbarukan, pusat data, serta koridor pengisian kendaraan listrik.
Sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau dan populasi 270 juta jiwa, Indonesia menghadapi tantangan unik yang membutuhkan pola pikir lintas sektor dan investasi lintas bidang.
Kesenjangan Investasi dan Tantangan Infrastruktur Modern
Berdasarkan laporan McKinsey, kebutuhan investasi infrastruktur global hingga tahun 2040 mencapai 106 triliun dolar AS, dengan Asia menyerap lebih dari 50% akibat urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi pesat.
Khusus Indonesia, kebutuhan investasi infrastruktur nasional periode 2020–2024 mencapai Rp6.445 triliun.
Namun, kemampuan pembiayaan pemerintah hanya mampu menutupi sekitar 37 persen dari kebutuhan tersebut, menyisakan kesenjangan hingga Rp4.000 triliun yang harus dipenuhi melalui swasta, BUMN, dan skema kemitraan publik-swasta (PPP).
Dalam satu dekade terakhir, kemajuan signifikan terjadi pada infrastruktur fisik seperti pembangunan jalan tol sepanjang lebih dari 2.000 km sejak 2015, serta pembangunan bandara, pelabuhan, dan bendungan.
Namun demikian, investasi juga perlu diarahkan ke sektor infrastruktur modern.
Akses internet cepat, misalnya, baru mencakup 70 persen desa di Indonesia.
Selain itu, lebih dari 60 persen listrik nasional masih bergantung pada batu bara, sementara Indonesia menargetkan net zero emission pada 2060.
Menurut International Energy Agency (IEA), Indonesia membutuhkan lebih dari 20 miliar dolar AS per tahun untuk mendukung transisi energi.
Langkah strategis yang diperlukan mencakup pengembangan PLTS, PLTA, PLTP, dan PLTB serta implementasi smart grid untuk integrasi sumber energi terbarukan.
Peran Data, Digitalisasi, dan Kolaborasi Lintas Sektor
Pusat data menjadi elemen vital dalam ekonomi digital, dengan proyeksi permintaan global yang meningkat tiga kali lipat hingga 2030.
Indonesia kini dilirik sebagai hub pusat data Asia Tenggara oleh perusahaan global seperti Google, Microsoft, dan Amazon.
Namun, pusat data membutuhkan pasokan energi besar dan stabil, sehingga penting adanya kebijakan energi hijau yang mendukung.
Contoh integrasi lintas sektor juga terlihat pada pengembangan koridor kendaraan listrik (EV) yang membutuhkan koordinasi antara pengelola jalan tol, PLN, dan perusahaan teknologi finansial.
Hingga pertengahan 2025, jumlah kendaraan listrik baru mencapai 100.000 unit, sementara target 2030 sebesar 13 juta unit masih jauh.
Jumlah stasiun pengisian baru sekitar 2.000 unit juga belum cukup untuk mendukung akselerasi target tersebut.
Diperlukan pola pikir cross-vertical thinking, di mana sektor energi terhubung dengan transportasi, digitalisasi berdampak pada sektor sosial, dan pertanian terhubung ke pengelolaan limbah.
Contoh integrasi tersebut terlihat pada pemanfaatan limbah pertanian menjadi biogas untuk listrik lokal, menciptakan ekosistem berkelanjutan alih-alih sekadar membangun aset fisik.
Dr. Aswin Rivai juga menyoroti pentingnya peran sektor swasta, di mana aset infrastruktur swasta global telah tumbuh dari 500 miliar dolar AS pada 2016 menjadi 1,5 triliun dolar AS pada 2024.
- Penulis :
- Aditya Yohan