Tampilan mobile
FLOII Event 2025
ads
Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Runtuhnya Mushalla di Pesantren Al-Khoziny dan Riuhnya Kritik Publik: Antara Evaluasi Teknis dan Pengakuan Budaya

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

Runtuhnya Mushalla di Pesantren Al-Khoziny dan Riuhnya Kritik Publik: Antara Evaluasi Teknis dan Pengakuan Budaya
Foto: (Sumber: Tim Basarnas melihat bangunan pasca penutupan operasi SAR di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Kecamatan Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (7/10/2025). ANTARA FOTO/Umarul Faruq/sgd..)

Pantau - Robohnya mushalla di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, memicu perhatian luas masyarakat dan menjadi sorotan publik dalam hitungan jam, terutama melalui penyebaran foto-foto reruntuhan bangunan di media sosial.

Reaksi publik bermunculan, dari ungkapan simpati hingga komentar bernada caci maki.

Sebagian besar kritik mengalir deras, ada yang bersifat konstruktif dan ada pula yang justru menyeret dunia pesantren ke dalam generalisasi negatif tanpa memahami konteks yang lebih dalam.

Evaluasi Teknis Harus Dibarengi Pemahaman Kontekstual

Peristiwa ini menunjukkan bahwa setiap musibah menuntut bentuk pertanggungjawaban, terutama dalam aspek teknis seperti konstruksi bangunan, perizinan, dan pengawasan struktur.

Namun, dalam era digital yang serba cepat dan responsif, penting bagi publik untuk berhenti sejenak dan melihat persoalan ini dari dua sisi: sisi teknis dan sisi kultural.

Di balik bangunan yang roboh, terdapat dunia sosial, nilai, dan tradisi panjang yang membentuk wajah pondok pesantren—hal yang sering luput dari perhatian publik.

Dalam esainya The Politics of Recognition, Charles Taylor menekankan bahwa pengakuan terhadap identitas budaya dalam masyarakat majemuk adalah hal krusial.

“Salah mengenali atau merendahkan identitas suatu komunitas, ternyata dapat melukai martabat kolektif,” ungkap Taylor.

Kritik yang tidak mempertimbangkan konteks kultural sering kali berubah menjadi bentuk dominasi budaya terselubung, yang justru menjauhkan masyarakat dari sikap saling memahami.

Filsuf politik Bhikhu Parekh juga mengingatkan bahwa dialog antarbudaya tidak selalu berlangsung secara simetris, karena setiap komunitas memiliki horizon nilai dan logika internalnya masing-masing.

Pondok pesantren tidak bisa dinilai semata-mata dengan standar rasionalitas modern.

Di dalamnya hidup nilai-nilai seperti adab, penghormatan kepada guru, dan gotong royong yang berakar kuat dalam struktur sosial pesantren.

Koreksi yang Membangun, Bukan Menghakimi

Dengan cara pandang multikulturalisme, kritik terhadap dunia pesantren seharusnya diarahkan untuk mengoreksi secara empatik, bukan untuk menghakimi atau merendahkan tradisi yang telah hidup puluhan bahkan ratusan tahun.

Tradisi, meskipun dapat ditinjau secara kritis, tidak layak untuk dihapus atau dicemooh begitu saja.

Pondok pesantren adalah entitas yang kompleks—lebih dari sekadar lembaga pendidikan agama, ia juga merupakan ruang hidup sosial dengan sistem nilai yang khas.

Memahami kedalaman ini penting agar setiap kritik tidak menjadi bentuk penyangkalan terhadap eksistensi budaya lokal yang telah menjadi bagian dari keragaman bangsa.

Penulis :
Aditya Yohan