
Pantau - Anggota Komisi III DPR RI Abdullah mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menghapus Pasal 44 ayat (1) dan (2) dalam Peraturan OJK Nomor 22 Tahun 2023 yang mengatur soal penagihan utang melalui pihak ketiga.
Ia menilai aturan tersebut telah menimbulkan banyak pelanggaran hukum di lapangan dan menyebabkan keresahan di masyarakat.
Abdullah menegaskan bahwa penggunaan jasa penagih utang atau debt collector justru sering memicu tindak pidana.
"Saya mendesak OJK menghapus aturan pelaku jasa keuangan yang boleh melakukan penagihan utang menggunakan jasa pihak ketiga. Alasannya, praktik di lapangan tidak sesuai aturan dan malah banyak tindak pidana, saya mendorong juga masalah utang ini diselesaikan secara perdata," ungkapnya.
Mobil Debt Collector Dilempari Batu di Sukoharjo
Abdullah mencontohkan salah satu insiden yang menunjukkan keresahan masyarakat terhadap tindakan debt collector.
Peristiwa tersebut terjadi di Lapangan Tempel Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah, pada Kamis, 2 Oktober 2025.
Sebuah mobil penagih utang dilempari batu oleh warga karena mengebut di kawasan pemukiman dan menimbulkan keributan.
Aksi tersebut merupakan bentuk protes warga atas tindakan yang dianggap tidak manusiawi dan membahayakan.
"Pelanggaran yang dilakukan penagih utang ini sudah banyak diadukan," tambah Abdullah.
Ribuan Aduan Masyarakat, Abdullah Pertanyakan Sanksi dari OJK
Berdasarkan data dari OJK, dari Januari hingga 13 Juni 2025 terdapat 3.858 pengaduan terkait praktik penagihan utang oleh pihak ketiga yang tidak sesuai ketentuan.
Abdullah menyebut bahwa dalam praktiknya, banyak penagih utang diduga kuat melakukan pelanggaran hukum.
Bentuk pelanggaran tersebut antara lain berupa ancaman, kekerasan, dan tindakan mempermalukan debitur di depan umum.
"Namun pertanyaan saya, sudah berapa banyak perusahaan jasa keuangan yang diberi sanksi administratif atau bahkan sampai pidana?" tegasnya.
Ia mendorong agar penyelesaian utang dilakukan secara perdata demi meminimalkan risiko pelanggaran hukum lainnya.
Menurutnya, mekanisme penyelesaian perdata juga tetap memberikan sanksi tegas kepada debitur yang tidak mampu membayar.
"Melalui perdata perusahaan jasa keuangan mesti mengikut mekanisme yang ada. Mulai dari penagihan, penjaminan, sampai penyitaan. Mereka yang berutang atau debitur, jika tidak mampu membayar juga akan masuk daftar hitam atau blacklist nasional melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Bank Indonesia atau OJK," jelasnya.
Abdullah menyatakan bahwa desakannya ini didasari perspektif hukum dan hak asasi manusia untuk melindungi konsumen.
Ia juga mengakui bahwa kreditur memiliki hak menagih utang, namun prosesnya harus tetap menghormati hak asasi manusia.
"Maka itu, sekali lagi saya tegaskan, negara hukum yang beradab tidak mengukur keberhasilan penegakan hukum dari seberapa banyak orang dipaksa membayar utang, melainkan dari seberapa jauh hak manusia dihormati dalam proses itu," ia mengungkapkan.
- Penulis :
- Arian Mesa