
Pantau - Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang terakhir uji materi Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) terkait perintangan penyidikan atau obstruction of justice, yang diajukan oleh Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, pada Senin, 27 Oktober 2025.
Sidang Terakhir dan Pendapat Para Ahli
Ketua MK, Suhartoyo, menyampaikan bahwa sidang hari itu merupakan sidang terakhir untuk perkara uji materi tersebut.
MK memberikan waktu tujuh hari kepada pemohon, DPR, dan kuasa Presiden untuk menyerahkan kesimpulan tertulis berisi pandangan akhir terhadap perkara ini.
Setelah semua kesimpulan diterima, para hakim konstitusi akan menggelar rapat permusyawaratan hakim guna memutuskan perkara tersebut.
Putusan akhir akan diumumkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Dalam sidang terakhir, pemerintah menghadirkan dua ahli hukum yaitu Guru Besar Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji, dan pengajar hukum Universitas Borobudur, Ahmad Redi.
Kedua ahli menyatakan bahwa Pasal 21 UU Tipikor tidak bertentangan dengan UUD 1945.
"Ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi adalah sebuah norma yang tidak bertentangan dengan nilai konstitusi, khususnya kepastian hukum," ungkap Suparji.
Ia menambahkan bahwa pasal tersebut telah memiliki batasan dan perintah yang jelas, serta menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia dalam perspektif hukum pidana.
Suparji juga menilai tidak perlu menambahkan unsur "melawan hukum" dalam pasal tersebut karena struktur normanya sudah terang dan rinci.
"Karena sudah jelas perbuatan-perbuatan apa sebetulnya yang dilarang, sudah jelas bagaimana struktur normanya," tegasnya.
Ahmad Redi menyampaikan bahwa pasal tersebut telah sesuai dengan asas proporsionalitas dalam hukum pidana.
"Ancaman penjara 3–12 tahun dan denda Rp150–600 juta adalah proporsional dengan keseriusan perbuatan. Tindakan yang menggagalkan proses hukum dalam perkara korupsi dapat mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan pidana," jelas Redi.
Permohonan Hasto dan Latar Belakang Kasus
Permohonan uji materi ini diajukan Hasto karena menilai Pasal 21 UU Tipikor mengandung ketidakpastian hukum dan digunakan secara tidak proporsional dalam praktik.
Ia menilai norma tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum yang adil sebagaimana tercantum dalam konstitusi.
Dalam permohonannya, Hasto meminta Mahkamah menambahkan frasa “secara melawan hukum” serta frasa “melalui penggunaan kekerasan fisik, ancaman, intimidasi, intervensi, dan/atau janji untuk memberikan keuntungan yang tidak semestinya” ke dalam pasal tersebut.
Ia juga mempersoalkan ancaman pidana 3–12 tahun penjara dan/atau denda Rp150–600 juta yang dianggapnya tidak proporsional, dan mengusulkan agar maksimal pidana diturunkan menjadi 3 tahun penjara.
Hasto meminta Mahkamah menafsirkan kata “dan” dalam frasa “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan” secara kumulatif, artinya seseorang baru bisa dikenai pidana apabila melakukan perintangan terhadap ketiganya secara bersamaan.
Sebagai catatan, Hasto sebelumnya sempat menjadi terdakwa dalam kasus dugaan perintangan penyidikan dan gratifikasi terkait pergantian antarwaktu (PAW) Harun Masiku.
Meski Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menyatakan Hasto tidak terbukti merintangi penyidikan, ia dinyatakan bersalah dalam perkara suap dan dijatuhi hukuman 3 tahun 6 bulan penjara serta denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan.
Hasto tidak menjalani hukuman tersebut karena menerima amnesti dari Presiden Prabowo Subianto.
- Penulis :
- Shila Glorya










