Pantau Flash
HOME  ⁄  Politik

NU dan Krisis Diskursus Kekuasaan: Konflik Elite hingga Tantangan Menjelang Muktamar ke-35

Oleh Gerry Eka
SHARE   :

NU dan Krisis Diskursus Kekuasaan: Konflik Elite hingga Tantangan Menjelang Muktamar ke-35
Foto: (Sumber: Logo Nahdlatul Ulama. (1).)

Pantau - Konflik internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) antara Rais Aam dan Ketua Umum Tanfidziyah secara simbolik dianggap mereda dalam pertemuan 25 Desember 2025 di Pesantren Lirboyo, Kediri, namun tidak menyelesaikan akar persoalan yang lebih dalam: kegagapan NU dalam membangun diskursus kekuasaan di tengah dinamika sosial-politik yang berubah cepat.

Konflik Simbolik yang Belum Usai

Pertemuan di Lirboyo memang meredakan ketegangan elite, namun sejumlah pengamat menilai konflik belum sepenuhnya selesai karena menyisakan masalah konseptual tentang bagaimana NU mendefinisikan otoritas, legitimasi, dan ruang bicara di tengah intervensi negara, fluktuasi politik elektoral, hingga tekanan opini media digital.

NU, sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, tidak berdiri dalam ruang hampa, tetapi berada dalam pusaran relasi kekuasaan yang kompleks: negara yang semakin intervensionis, kontestasi elektoral yang cair, opini publik digital yang instan, serta warga NU yang makin beragam secara kelas, orientasi politik, dan ekspektasi sosial.

Ketika dinamika eksternal tidak dijawab dengan kerangka diskursif yang matang, konflik internal menjadi keniscayaan.

Dalam kerangka teori diskursus, konflik bukan hanya persoalan kepentingan, tapi pertarungan makna: siapa yang sah berbicara, atas nama siapa, dan dengan legitimasi apa.

Pada tubuh NU sendiri, persoalan muncul dari belum solidnya artikulasi antara dua otoritas utama: syuriyah yang mewakili otoritas keilmuan dan keulamaan, serta tanfidziyah yang mengemban mandat administratif.

Hingga kini, belum ada narasi bersama yang kokoh sebagai acuan berpikir dan bertindak dalam merespons dinamika eksternal.

Ketika Diskursus Diperebutkan Ruang Publik

Kegagapan NU menjadi nyata ketika konflik elite membawa konsekuensi pada tarik-menarik makna di ruang publik: siapa yang sah berbicara atas nama kepentingan umat? Apakah otoritas moral rais aam bersifat final? Ataukah tanfidziyah memiliki diskresi strategis dalam membaca politik?

Karena pertanyaan-pertanyaan itu tak dijawab secara internal, ruang publik menjadi arena diskursus alternatif: media sosial, portal berita, hingga warung kopi.

Polemik meluas dan berubah menjadi krisis legitimasi, di mana NU tidak hanya berkonflik secara internal, tapi juga dengan persepsi publik soal siapa yang sebenarnya memegang kendali moral dan organisatoris.

Dalam teori diskursus, keberlanjutan organisasi besar sangat tergantung pada kemampuannya menciptakan hegemoni narasi — narasi dominan yang diterima oleh mayoritas.

Pada masa lalu, para kiai sepuh mampu merajut perbedaan dengan bahasa simbolik yang inklusif.

Kini, kecepatan bahasa politik dan logika media digital mengalahkan ritme deliberasi keagamaan.

Pertemuan Lirboyo memang memiliki nilai simbolik sebagai titik temu keilmuan tradisional NU, tetapi simbol semata tak cukup menyelesaikan masalah jika tidak disertai batas kewenangan dan narasi yang jelas.

Tanpa mekanisme deliberasi diskursif yang adaptif, seperti bahtsul masail atau musyawarah yang mampu merespons cepat, konflik yang berkembang dalam tempo digital akan terus mendahului keputusan internal NU.

Kondisi ini menyebabkan narasi tentang NU lebih banyak diproduksi oleh aktor eksternal — politisi, influencer, bahkan buzzer — sementara NU sendiri terjebak menjadi objek tafsir, bukan subjek pembentuk narasi.

Tantangan Menuju Muktamar: Reformulasi Diskursus NU

Menjelang Muktamar ke-35, NU dihadapkan pada tantangan besar: mereformulasi kerangka diskursif kelembagaan agar mampu menjembatani antara otoritas moral, kepemimpinan organisatoris, dan ekspektasi publik modern.

Pertama, NU perlu menegaskan ulang pembagian peran antara syuriyah dan tanfidziyah dalam narasi publik yang lebih aplikatif, tidak hanya bersandar pada bahasa normatif AD/ART, tetapi juga logika etik dan strategi kelembagaan.

Kedua, NU harus membangun mekanisme respons cepat terhadap isu-isu eksternal.

Bukan reaktif, melainkan proaktif dalam mengelola makna, agar bisa menetapkan fixation of meaning sebelum isu tersebut diambil alih diskursus lain.

Ketiga, NU perlu mengakui bahwa konflik bukan musuh, tetapi bagian dari dinamika organisasi hidup.

Perbedaan pandangan seharusnya dipahami sebagai peluang untuk memperkaya narasi bersama, bukan sekadar ancaman terhadap struktur yang ada.

NU tidak kekurangan kiai, tidak kekurangan struktur, tetapi memerlukan keberanian untuk membaca ulang dirinya dalam konteks perubahan diskursif yang terus bergerak.

Kegagapan bukanlah aib, selama disertai kesadaran reflektif untuk belajar dan membangun ulang narasi.

Jika tidak, konflik serupa akan terus berulang, hanya dengan aktor berbeda dan pola yang sama.

NU adalah organisasi besar yang lahir dari tradisi panjang musyawarah, dialog, dan kebijaksanaan kultural.

Tantangan ke depan adalah menerjemahkan warisan tersebut ke dalam bahasa diskursus modern agar NU tetap relevan, bukan hanya sebagai simbol moral, tetapi juga sebagai subjek utama dalam percakapan publik tentang keislaman, kebangsaan, dan keadaban.

Penulis :
Gerry Eka