
Pantau - Institut Leimena meyakini bahwa pemanfaatan musik dan lagu sebagai sarana membangun perdamaian di Maluku dapat menjadi contoh bagi wilayah lain di Indonesia dan Asia Tenggara yang baru pulih dari konflik.
Musik Sebagai Alat Pemersatu
Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, menyatakan bahwa program tersebut terbukti efektif dalam memperkuat literasi keagamaan lintas budaya serta mempererat hubungan sosial di daerah yang memiliki sejarah konflik.
“Visi kami adalah agar program seperti ini bisa menginspirasi, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di kawasan ASEAN,” ungkapnya.
Strategi penggunaan musik untuk perdamaian di Maluku disesuaikan dengan budaya masyarakat setempat agar pesan damai lebih mudah diterima.
“Orang Maluku suka bernyanyi, dan Ambon sudah diakui UNESCO sebagai Kota Musik. Kami berpikir, kenapa tidak menggunakan sesuatu yang dekat dengan hati dan budaya mereka?” ujarnya.
Konflik sektarian antara Muslim dan Kristen di Maluku pada tahun 1999–2002 menewaskan ribuan orang, dan dampaknya masih terasa hingga kini.
“Masyarakat di sana masih cukup tersegregasi, dan itu mereka akui sendiri,” tambah Matius.
Kolaborasi Budaya dan Pendidikan
Sebagai bagian dari program, Institut Leimena bekerja sama dengan ahli etnomusikologi dari Kunstuniversität Graz, Austria, yaitu Profesor Sarah Weiss.
Sarah Weiss melatih puluhan guru Muslim dan Kristen dari Maluku untuk menciptakan lagu-lagu bertema perdamaian dan menyusun rencana ajar berbasis nilai toleransi.
Melalui pendekatan ini, para guru diharapkan menjadi pelopor perdamaian mulai dari ruang kelas hingga masyarakat luas.
“Musik bukan hanya hiburan, tapi juga alat sosial yang bisa membawa perubahan dan memperkuat perdamaian,” tutur Sarah Weiss.
Matius optimistis bahwa pendekatan serupa dapat diterapkan di daerah lain yang pernah dilanda konflik, seperti Poso di Sulawesi Tengah dan Mindanao di Filipina Selatan.
Program musik untuk perdamaian ini menjadi contoh nyata bagaimana pendekatan budaya lokal dapat mendukung rekonsiliasi dan memperkuat kohesi sosial di masyarakat pascakonflik.
- Penulis :
- Aditya Yohan








