
Pantau - Muhamad Anugrah Firmansyah mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi dengan tujuan agar pernikahan antaragama memperoleh kepastian hukum.
Pasal yang digugat berbunyi "perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu," yang menurut pemohon menimbulkan multitafsir serta ketidakjelasan hukum, terutama dalam hal pencatatan perkawinan lintas agama.
Anugrah, seorang Muslim, telah menjalin hubungan selama dua tahun dengan perempuan Kristen dan berniat menikah dengan tetap menghormati keyakinan masing-masing.
Namun, keinginan tersebut terhambat akibat interpretasi pasal tersebut yang pada praktiknya dianggap melarang pencatatan perkawinan beda agama dan hanya memperbolehkan pencatatan bagi pasangan seagama.
"Penafsiran demikian berimplikasi langsung pada tertutupnya akses pencatatan perkawinan antaragama," ungkap Anugrah dalam permohonannya.
Inkonsistensi Putusan dan Ketidakpastian Hukum
Anugrah menilai ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) menyebabkan kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual karena ia tidak dapat melangsungkan perkawinan dengan pasangan beda agama.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebenarnya memungkinkan pencatatan perkawinan lintas agama melalui penetapan pengadilan.
Namun, dalam praktiknya, pengadilan bersikap tidak konsisten terhadap permohonan pencatatan pernikahan beda agama.
"Terdapat pengadilan yang mengabulkan penetapan pencatatan perkawinan antaragama, sementara terdapat pula pengadilan yang menolak," ia mengungkapkan.
Menurut Anugrah, kondisi ini mencerminkan tidak adanya kepastian hukum, serta ketidaksamaan perlakuan terhadap warga negara yang menghadapi situasi serupa.
"Akibat ketidakjelasan tersebut, negara menafsirkan pasal a quo secara berbeda-beda yang berimplikasi pada ketidakpastian hukum dan ketidaksamaan perlakuan hukum terhadap warga negara yang berada dalam kondisi serupa," ujarnya.
Peran SEMA dan Konteks Sosial Masyarakat Majemuk
Anugrah juga menyoroti keberadaan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 yang melarang pengadilan untuk mengabulkan pencatatan perkawinan beda agama.
SEMA tersebut, menurutnya, memperparah kerugian konstitusional yang dialaminya dan memperkuat urgensi untuk meninjau ulang konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1).
"Perkawinan di antara pasangan dengan agama yang sama sering dianggap sebagai perkawinan yang ideal. Namun demikian, cinta tidak pernah bisa direncanakan. Seringkali interaksi sosial antarwarga negara melampaui sekat-sekat agama, suku, maupun budaya. Sementara itu, di kehidupan yang hanya dijalani sekali ini, setiap orang berharap untuk dapat melangsungkan perkawinan dengan pasangan pilihannya," tegas Anugrah.
Dalam perkara Nomor 212/PUU-XXIII/2025, Anugrah meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (1) tidak boleh digunakan sebagai dasar hukum untuk menolak pencatatan perkawinan beda agama.
- Penulis :
- Shila Glorya







