
Pantau - Hemus, guru kelas 1 SDN Inpres 01 di satuan pemukiman 2 Kampung Kalisemen, Nabire, Papua, setiap selesai mengajar berangkat ke Rumah Baca Lilin Kecil (RBLK) untuk mendampingi anak-anak belajar tambahan pada sore hari.
Aktivitas Sore di Rumah Baca Lilin Kecil
Di RBLK, Hemus menyambut anak-anak yang datang dalam kondisi beragam.
Sebagian dari mereka perlu dimandikan terlebih dahulu sebelum memulai belajar.
Sebagian lainnya harus diberi makan agar siap mengikuti kegiatan belajar.
Fasilitator lokal di setiap lokasi kegiatan menjadi tulang punggung proses belajar dengan menjaga disiplin serta menemani anak-anak sepanjang aktivitas.
Tantangan Pendidikan dan Perjalanan Hemus
Upaya Hemus memberikan pelajaran tambahan lahir dari keprihatinannya terhadap keterhambatan akses pendidikan di Papua akibat kondisi geografis, minimnya infrastruktur, serta keterbatasan tenaga pengajar.
Papua digambarkan sebagai tanah kaya sumber daya namun tertinggal dalam layanan dasar termasuk pendidikan, dengan ketimpangan fasilitas sekolah, kekurangan guru tetap, serta sulitnya akses sanitasi.
Banyak anak di wilayah tersebut mulai sekolah pada usia terlambat dan sebagian berhenti belajar karena tuntutan ekonomi keluarga.
Hemus berasal dari Konbaki, Nusa Tenggara Timur, dan datang ke Nabire dua puluh tahun lalu setelah menerima tawaran mengajar dari Yayasan Pesat.
Ia kemudian menetap dan menjadi guru kelas 1 di mana ia sering mendapati siswa berusia 12 hingga 15 tahun yang baru masuk sekolah dasar.
Tantangan pengajaran mencakup kemampuan membaca, berhitung, serta mengejar ketertinggalan sebelum mereka menginjak usia dewasa dan harus membantu pekerjaan keluarga.
Kerinduan Hemus untuk membuat anak-anak lebih cepat maju mendorongnya merintis RBLK bersama suaminya, Henry, yang juga seorang guru.
- Penulis :
- Aditya Yohan








