Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Nasir Djamil Soroti Implementasi UU Pemerintahan Aceh yang Dinilai Setengah Hati

Oleh Gerry Eka
SHARE   :

Nasir Djamil Soroti Implementasi UU Pemerintahan Aceh yang Dinilai Setengah Hati
Foto: (Sumber:Anggota Baleg DPR RI Nasir Djamil saat mengikuti Raker penyusunan RUU tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh di Gedung Nusantara I,Rabu (19/11/2025). )

Pantau - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Nasir Djamil, menilai implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh belum berjalan sesuai harapan dan terkesan dilakukan setengah hati oleh pemerintah pusat.

Pernyataan itu disampaikan Nasir dalam Rapat Kerja penyusunan RUU Perubahan UU Pemerintahan Aceh pada Rabu, 19 November 2025, yang dihadiri oleh Menko Polhukam, Mendagri, dan Menkeu.

Ia menegaskan bahwa Pasal 18B UUD 1945 sudah jelas menyatakan pengakuan negara terhadap daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa.

Namun, Nasir mempertanyakan komitmen nyata pemerintah terhadap kekhususan Aceh.

"Apakah negara menerima kekhususan Aceh secara penuh atau setengah hati?", ungkapnya.

Latar Belakang Sejarah dan Pengorbanan Aceh

Nasir mengingatkan bahwa UU Pemerintahan Aceh bukan produk politik biasa, melainkan lahir dari sejarah panjang, konflik bersenjata, dan proses damai yang penuh pengorbanan.

Ia mengenang masa ketika menjadi anggota DPRD Aceh saat penyusunan UU No. 18 Tahun 2001 dan menyebut nama Ketua Pansus saat itu, Zaini Sulaiman, yang akhirnya menjadi korban penembakan oleh orang tak dikenal.

"Proses penyusunan UU ini mengandung jejak darah dan air mata. Ini bukan sekadar dokumen administratif", tegasnya.

Pemahaman Pejabat Pusat Mulai Luntur

Menurut Nasir, lemahnya implementasi UU juga disebabkan oleh berkurangnya pemahaman di kalangan pejabat pusat karena banyak dari mereka yang terlibat sejak awal sudah pensiun.

Hal ini berdampak pada hilangnya kesinambungan pengetahuan dan komitmen dalam mengawal UU Pemerintahan Aceh secara utuh.

Padahal, kata dia, keberadaan UU ini erat kaitannya dengan Perjanjian Helsinki tahun 2005 yang mengakhiri konflik bersenjata dan memulai proses demobilisasi serta demokratisasi di Aceh.

Sebelum perdamaian, masyarakat hidup dalam ketakutan, banyak yang mengungsi, dan rumah-rumah ibadah pun kosong.

Usul Pembentukan Badan Khusus Otonomi Khusus

Nasir juga mendorong pembentukan badan khusus yang bertanggung jawab menangani daerah dengan status otonomi khusus.

Saat ini, urusan otonomi khusus hanya ditangani pada level direktorat di Kementerian Dalam Negeri, yang menurutnya terlalu lemah secara kelembagaan.

Ia menyinggung keberadaan Desk Aceh di bawah Menko Polhukam yang dulu aktif namun kini tidak terdengar lagi perannya.

"Ini soal komitmen negara. Harus ada lembaga khusus yang kuat secara struktural dan fungsional untuk memastikan kekhususan Aceh benar-benar berjalan", ujarnya.

Komitmen Negara Harus Diperkuat

Nasir menegaskan bahwa UU Pemerintahan Aceh adalah Undang-Undang Republik Indonesia, bukan sekadar aturan lokal yang bisa diabaikan atau diinterpretasikan sepihak.

Semua pihak, baik pemerintah pusat maupun daerah, wajib menjalankan isi undang-undang tersebut secara konsisten.

Ia pun berharap Presiden Prabowo Subianto memberikan perhatian lebih terhadap pelaksanaan otonomi khusus di Aceh.

Revisi UU ini diharapkan tidak hanya menjadi formalitas, melainkan dapat memperkuat tata kelola otonomi khusus yang lebih adil dan efektif.

Penulis :
Gerry Eka