
Pantau - Partai Amanat Nasional (PAN) menyatakan sepakat dengan gagasan Partai Golkar terkait pembentukan koalisi permanen sebagai upaya memperkuat sistem presidensial di Indonesia.
Wakil Ketua Umum PAN, Viva Yoga Mauladi, menilai pernyataan Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia, tentang pentingnya koalisi permanen patut diapresiasi.
Ia menilai wacana tersebut merupakan langkah awal dalam membangun fondasi sistem presidensial yang stabil di tengah sistem politik multi-partai.
"Jika koalisi permanen menjadi keputusan politik seluruh partai, maka harus masuk di pasal di Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (Pemilu)", ungkapnya.
PAN Tunggu Revisi UU Pemilu
Viva mengatakan bahwa pihaknya masih menunggu jadwal resmi pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu di DPR.
Ia menjelaskan bahwa UU Pemilu merupakan kodifikasi dari tiga undang-undang, yaitu UU tentang Pemilihan Presiden (Pilpres), UU tentang Penyelenggara Pemilu, serta UU tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota.
Menurut Viva, dirinya memiliki pengalaman panjang dalam pembahasan regulasi pemilu karena pernah dua kali menjadi anggota Panitia Khusus RUU Pemilu saat duduk di DPR periode 2009–2019.
Namun, ia menuturkan bahwa isu koalisi permanen memang kerap dibahas dalam rapat, tetapi belum pernah masuk dalam pasal yang bersifat mengikat secara hukum.
Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan Pemilu 2019 dan 2024, juga belum mengatur soal pembentukan koalisi permanen baik sebelum maupun sesudah pilpres.
Tantangan Konstitusional dan Stabilitas Politik
Viva mengingatkan bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut konstitusi.
Ia juga menekankan bahwa Pasal 17 ayat (2) menyatakan presiden memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan menteri tanpa perlu persetujuan DPR.
"Dengan demikian, penyusunan kabinet merupakan hak prerogatif presiden terpilih sebagai fungsi konstitusional. Tidak ada kewajiban konstitusional bagi presiden untuk meminta persetujuan DPR dalam mengangkat menteri", ujarnya.
Meski begitu, Viva menyebut bahwa dalam praktiknya, koalisi permanen justru bisa memunculkan dilema politik, terutama jika pasangan calon terpilih berasal dari partai dengan kursi minoritas di DPR.
Hal ini berpotensi menyebabkan ketegangan antara lembaga eksekutif dan legislatif yang berdampak pada stabilitas pemerintahan.
"Jika hal itu terjadi maka pemerintah tidak akan dapat bekerja maksimal untuk merealisasikan visi dan janji-janji politik saat kampanye", ia mengungkapkan.
Namun, ia menambahkan bahwa masalah tersebut tidak akan muncul jika pasangan calon didukung oleh partai politik yang memiliki kursi mayoritas di DPR.
Ia juga menyampaikan bahwa sejak Pemilu 1999, presiden terpilih selalu berupaya membangun kekuatan mayoritas di parlemen sebagai bagian dari strategi pemerintahan yang efektif.
Potensi Munculnya Banyak Calon di Pilpres 2029
Viva menyebut bahwa Mahkamah Konstitusi telah memutuskan penghapusan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden.
Dengan tidak adanya threshold, ia memprediksi bahwa Pilpres 2029 akan diikuti oleh banyak pasangan calon.
Ia menilai situasi ini akan menjadi momentum penting untuk menata ulang sistem politik nasional, termasuk melalui penguatan koalisi permanen bila dianggap perlu secara hukum dan konstitusional.
- Penulis :
- Leon Weldrick







