
Pantau - Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menyatakan pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru pada awal tahun 2026 menjadi langkah awal percepatan reformasi kepolisian melalui jalur konstitusi.
Pernyataan tersebut disampaikan Habiburokhman sebagai respons atas usulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia yang meminta pembubaran Komisi Percepatan Reformasi Polri.
Habiburokhman menyebut KUHAP baru menganut asas keadilan restitutif dan restoratif yang menempatkan Polri tidak lagi sebagai alat kekuasaan, melainkan sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.
Ia menegaskan bahwa “Pemberlakuan KUHAP baru adalah langkah awal percepatan reformasi kepolisian. Komisi III juga akan merevisi Undang-Undang Polri untuk memperkuat fungsi Polri dalam melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat,” ungkapnya.
Habiburokhman menyatakan pihaknya menghargai seluruh masukan masyarakat, termasuk dari personel yang terlibat dalam komisi reformasi kepolisian.
Ia menilai perlu adanya pelurusan agar usulan pembubaran tersebut tidak bertentangan dengan aturan konstitusi yang merupakan amanat reformasi.
Habiburokhman menegaskan bahwa “Perlu diluruskan agar usulan tersebut tidak mengangkangi aturan konstitusi yang merupakan amanat reformasi,” ujarnya.
Poin pertama menegaskan posisi institusi Polri yang berada langsung di bawah Presiden.
Dalam poin tersebut, Polri bertanggung jawab menjaga keamanan dan ketertiban dengan melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Poin kedua mengatur bahwa pengangkatan Kapolri merupakan wewenang Presiden dengan persetujuan DPR.
Habiburokhman menegaskan poin tersebut dengan menyatakan bahwa “Sedangkan poin kedua adalah pengangkatan Kapolri merupakan wewenang Presiden dengan persetujuan DPR,” katanya.
Ia menyebut kedua poin tersebut merupakan koreksi atas praktik di era Orde Baru yang memosisikan polisi sebagai aparatur represif kekuasaan.
Menurutnya, dua poin amanat reformasi itu juga memperkuat mekanisme check and balance antara lembaga eksekutif dan legislatif.
Ia menambahkan Undang-Undang Polri yang dibentuk pada tahun 2002 juga belum mengatur secara maksimal dua poin amanat reformasi tersebut.
Kondisi itu, menurutnya, menyulitkan Polri untuk melakukan reformasi internal secara menyeluruh.
Habiburokhman menyampaikan bahwa “Undang-Undang Polri yang dibentuk tahun 2002 pun belum mengatur secara maksimal dua poin amanat reformasi. Situasi ini jelas menyulitkan Polri untuk mereformasi diri,” ungkapnya.
Ia mengungkapkan rasa syukur karena KUHAP baru telah disetujui DPR dan disahkan oleh Presiden Prabowo Subianto.
KUHAP baru tersebut dijadwalkan mulai diberlakukan secara resmi pada tahun 2026.
Habiburokhman menyatakan bahwa “Alhamdulillah dengan kerja sama yang baik antara DPR dan Presiden, akhirnya kita akan memberlakukan KUHAP baru yang sangat reformis,” katanya.
Ia meyakini pemberlakuan KUHAP baru akan menjadi fondasi awal reformasi kepolisian melalui mekanisme konstitusional.
Sejalan dengan itu, Komisi III DPR RI berencana merevisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Salah satu poin yang akan direvisi adalah pengaturan usia pensiun anggota Polri.
Usia pensiun tersebut akan disesuaikan dengan ketentuan serupa yang berlaku dalam Undang-Undang Kejaksaan dan Undang-Undang TNI.
Habiburokhman menyampaikan bahwa “Hal lain yang akan menjadi poin revisi Undang-Undang Polri adalah pembaruan soal usia pensiun yang disesuaikan dengan pengaturan serupa di Undang-Undang Kejaksaan dan Undang-Undang TNI,” ujarnya.
Secara umum, Komisi III DPR RI akan mengeluarkan rekomendasi percepatan reformasi Polri.
Rekomendasi tersebut akan disusun berdasarkan berbagai masukan yang diterima dari masyarakat.
Habiburokhman menegaskan bahwa “Secara umum, Komisi III akan mengeluarkan rekomendasi soal percepatan reformasi Polri berdasarkan masukan masyarakat,” katanya.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf








