
Pantau - Menutup tahun 2025 dan menyambut 2026, isu pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (PPPA) menjadi refleksi strategis dalam rangka mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Visi tersebut tidak dapat diraih secara instan, melainkan harus dibangun melalui konsistensi kebijakan, tata kelola yang tepat, serta keberpihakan nyata terhadap perempuan dan anak.
Pergantian tahun menjadi momentum bagi aparatur negara untuk mengevaluasi capaian dan arah pembangunan ke depan.
Perempuan dan Anak: Kunci Kualitas SDM Masa Depan
Perempuan dan anak merupakan kelompok strategis dalam pembangunan nasional, dengan persentase penduduk perempuan mencapai 49,6 persen dan anak-anak 28,65 persen pada tahun 2025.
Kelompok ini akan menjadi penentu kualitas sumber daya manusia Indonesia pada 2045, sehingga kesuksesan Indonesia Emas ditentukan oleh sejauh mana perempuan diberdayakan dan anak-anak dilindungi sejak dini.
Sepanjang 2025, sejumlah indikator makro menunjukkan kemajuan.
Indeks Pembangunan Gender (IPG) mencapai 91,85, menandakan kesenjangan pembangunan antara laki-laki dan perempuan makin menyempit.
Namun, Indeks Ketimpangan Gender (IKG) masih berada di angka 0,421, menandakan ketimpangan struktural masih menjadi tantangan besar.
Sementara itu, Indeks Perlindungan Anak (IPA) tercatat sebesar 70,19, yang menunjukkan kemajuan, tetapi belum merata dan masih perlu ditingkatkan.
Upaya pengarusutamaan gender dan perlindungan anak kini semakin terintegrasi dalam sistem perencanaan dan pembangunan nasional maupun daerah.
Tantangan Nyata Masih Dihadapi di Lapangan
Meski indikator makro membaik, realita di lapangan belum sepenuhnya mencerminkan keberhasilan tersebut.
Data dari Simfoni PPPA hingga pekan ketiga Desember 2025 mencatat 27.037 kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan kekerasan seksual sebagai jenis terbanyak, yakni 13.721 kasus.
Sebagian besar perempuan masih bekerja di sektor rentan tanpa perlindungan memadai, dan tidak semua anak tumbuh di lingkungan yang aman dan mendukung.
Tantangan utama ke depan adalah memastikan capaian administratif benar-benar berdampak nyata, efektif, dan berkelanjutan di masyarakat.
Negara maju diukur bukan hanya dari pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari kemampuannya melindungi kelompok paling rentan melalui tata kelola yang berkualitas.
Dari perspektif pengawasan intern pemerintah, pembangunan PPPA harus fokus pada nilai manfaat, efektivitas, dan keberlanjutan, bukan sekadar kepatuhan administratif.
PPPA Harus Jadi Pilar dalam Pembangunan Jangka Panjang
Sistem data gender dan anak harus dimanfaatkan sebagai dasar kebijakan berbasis bukti (evidence-based), guna mengidentifikasi risiko dan mendorong perbaikan berkelanjutan.
Memasuki tahun 2026, PPPA perlu menjadi bagian dari strategi pembangunan jangka panjang dan tidak hanya dilihat sebagai program sektoral.
Pengarusutamaan gender dan perlindungan anak harus masuk ke seluruh siklus pembangunan: mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, hingga pengawasan.
Perlindungan anak adalah investasi lintas generasi: anak yang tumbuh di lingkungan aman dan sehat akan menjadi SDM unggul di masa depan.
Sebaliknya, kegagalan melindungi anak akan menimbulkan persoalan sosial jangka panjang yang mahal.
Akhir tahun 2025 menegaskan bahwa Indonesia Emas hanya dapat tercapai dengan kebijakan yang konsisten, tata kelola yang tepat, dan keberpihakan kuat terhadap perempuan dan anak.
Pengawasan berbasis pencegahan dan perbaikan berkelanjutan harus menjadi bagian penting dalam menjaga arah pembangunan tetap pada jalurnya.
Perempuan yang berdaya dan anak yang terlindungi bukan sekadar tujuan, melainkan syarat utama mewujudkan masa depan Indonesia yang adil dan berkelanjutan.
- Penulis :
- Gerry Eka
- Editor :
- Tria Dianti







