
Pantau - Centre for Literary and Cultural Studies (CLCS) menilai keputusan untuk menghapus nama Soeharto dari Pasal 4 TAP MPR Nomor 11/1998 sebagai langkah mundur yang membahayakan demokrasi di Indonesia.
Ketetapan tersebut sebelumnya menekankan pentingnya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tanpa pandang bulu, termasuk terhadap mantan Presiden Soeharto.
"Manuver kekuasaan yang terjadi setiap akhir periode pemerintahan patut dicurigai, dan belakangan ini semakin terlihat jelas bahwa demokrasi terus dipukul mundur," ujar Direktur CLCS, Dhoni Zustiyantoro, pada Minggu (29/9/2024).
Menurut Dhoni, penyebutan nama Soeharto dalam TAP MPR merupakan salah satu hasil perjuangan reformasi yang melibatkan rakyat dan mahasiswa dalam melawan otoritarianisme serta penyalahgunaan kekuasaan.
Penghapusan nama tersebut, menurutnya, merupakan langkah mundur dalam upaya mempertahankan cita-cita reformasi.
"Secara konstitusional, penyebutan nama Soeharto dalam TAP MPR merupakan langkah progresif yang lahir dari sejarah dan perlu dipertahankan. Ini bukan sekadar instrumen hukum, tetapi juga pengingat sejarah tentang perjuangan bangsa melawan KKN," jelasnya.
Dhoni juga menekankan, TAP MPR ini merupakan simbol penting dalam sejarah reformasi Indonesia, yang bertujuan untuk menjaga integritas penyelenggaraan negara dan memperkuat demokrasi.
Usulan Penghapusan oleh Partai Golkar
Sebelumnya, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengumumkan bahwa nama Soeharto resmi dihapus dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 dalam sidang akhir MPR periode 2019-2024.
Bamsoet menjelaskan, usulan penghapusan ini pertama kali diajukan oleh fraksi Partai Golkar pada 18 September 2024.
Langkah tersebut memicu perdebatan di kalangan aktivis dan akademisi yang melihatnya sebagai upaya untuk melonggarkan komitmen terhadap pemberantasan KKN di masa lalu, khususnya yang terkait dengan pemerintahan Presiden Soeharto.
- Penulis :
- Aditya Andreas