
Pantau - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyoroti krisis dokter spesialis bedah toraks dan kardiovaskular di Indonesia. Dokter spesialis ini berfokus pada menangani penyakit di organ dalam rongga dada, khususnya pada jantung dan paru-paru.
Menkes Budi menyebut bahwa dalam 10 tahun ke depan, Indonesia membutuhkan setidaknya 1.300 spesialis bedah toraks dan kardiovaskular. Namun, hingga saat ini jumlah yang dimiliki Indonesia baru 270 dokter. Hal ini tentu menjadi perhatian lantaran mengingat penyakit jantung dan paru termasuk kasus terbanyak di Indonesia.
"Indonesia itu butuh sampai 10 tahun ke depan butuh 1300 spesialis bedah toraks dan kardiovaskular, karena usia kan menua, yang sakit jantung paru banyak, yang tidak terdeteksi juga banyak, ya hitung-hitung 1300," kata Menkes Budi, Minggu (16/2/2025).
"Kita sekarang itu 270 dokter, itu yang dokter yang kayak gini masih kerja itu, yang 84 dan 70 (tahun), karena mereka kan harusnya sudah tinggal mengajari saja," imbuhnya.
Baca juga: Menkes Beri Penghargaan pada dr ARL: Momentum Perbaikan Sistem Pendidikan Dokter Spesialis
Hingga saat ini tercatat ada enam perguruan tinggi di Indonesia yang meluluskan sekitar 50 spesialis bedah toraks dan kardiovaskular setiap tahun. Bahkan saat awal menjabat, jumlah perguruan tinggi yang menghasilkan dokter spesialis tersebut hanya dua di Indonesia.
Karena hal itu, pihaknya mendorong Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) berbasis rumah sakit (Hospital Based) sebagai upaya untuk meningkatkan jumlah spesialis bedah toraks dan kardiovaskular di Indonesia. Dengan program ini, diharapkan lebih banyak dokter spesialis.
"Nah, itu sebabnya kami mau bikin yang hospital based, untuk mempercepat centernya. Misalnya sudah bagus, nanti dibikin murah, rumah sakit-rumah sakit bikin, untuk banyakin spesialis bedah toraks dan kardiovaskular," jelasnya.
Saat ini ada 24 provinsi di Indonesia telah memiliki spesialis bedah toraks dan kardiovaskular. Meski jumlah ini belum ideal, diharapkan ke depannya setiap provinsi memiliki setidaknya satu dokter spesialis. Karena idealnya setiap kabupaten atau kota di Indonesia memiliki 3-5 dokter spesialis bedah toraks dan kardiovaskular.
Ketua Himpunan Bedah Toraks dan Kardiovaskular Indonesia (HBTKVI), Dr dr Prasetyo Edi, SpBTKV menjelaskan bahwa distribusi dokter spesialis juga menjadi tantangan yang besar. Hal ini menjadi sesuatu yang rumit karena di saat bersamaan, jumlah dokter spesialis bedah toraks dan kardiovaskular juga masih kurang.
"Sebetulnya kita butuh SDM atau problem di titik distribusi. Diskusinya di situ, jadi sebetulnya, kalau SpBTKV jumlahnya juga belum optimal, ditambah dengan distribusinya itu belum maksimal dua-duanya. Jadi kita tetap perlu produksi, tapi penempatan itu juga lebih penting dari produksi," tandasnya.
Baca juga: Kemenkes Raih Gold Award pada ASEAN Digital Awards 2025 atas Inovasi Digitalisasi Kesehatan
- Penulis :
- Laury Kaniasti