
Pantau - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui bahwa pengembangan transportasi berbasis hidrogen membutuhkan pembahasan lebih lanjut. Kendala utama yang dihadapi adalah regulasi dan insentif yang belum memadai.
“Regulasi yang belum ada menjadi penghambat utama,” kata Direktur Jenderal EBTKE, Eniya Listiani Dewi dikutip seperti dalam keterangannya, Rabu (19/2/2025).
Eniya menjelaskan, Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) masih menjadi penghalang utama dalam pemberian insentif.
Baca juga: Infrastruktur SPKLU Diperluas, Kementerian ESDM Targetkan 62.918 Unit hingga 2030
Menurut Eniya, dalam RUU EBET terdapat ketentuan mengenai insentif untuk kegiatan yang berfokus pada mitigasi iklim dan penurunan emisi karbon.
“Namun, belum ada mekanisme untuk alihkan insentif dari fosil ke energi terbarukan,” jelasnya.
Selain masalah regulasi dan insentif kata Eniya, harga kendaraan hidrogen juga menjadi tantangan besar.
Baca juga: Kemenperin Ungkap Penjualan Mobil Ramah Lingkungan 2024 Tumbuh Positif
Di Jepang, kendaraan hidrogen dijual dengan harga sekitar 1,7 juta Yen atau Rp180 juta, yang lebih terjangkau dibandingkan harga di Indonesia.
Eniya menyebutkan bahwa dengan semakin banyaknya produsen yang memproduksi kendaraan hidrogen secara lokal, harga kendaraan tersebut di Indonesia bisa lebih terjangkau.
Saat ini, Indonesia sudah memiliki dua Stasiun Pengisian Bahan Bakar Hidrogen (SPBH) di Senayan dan Karawang, yang menjadi langkah awal untuk perkembangan kendaraan hidrogen di Tanah Air.
- Penulis :
- Sofian Faiq