
Pantau - Bulan Sya’ban telah berjalan lebih dari sepekan, menandakan bahwa bulan suci Ramadan semakin dekat. Bagi umat Islam yang memiliki utang puasa Ramadan, ini menjadi pengingat untuk segera menggantinya sebelum Ramadan berikutnya tiba. Dalam ajaran Islam, mengqadha puasa merupakan kewajiban bagi mereka yang meninggalkan puasa Ramadan karena alasan tertentu. Qadha sendiri adalah istilah dalam fiqih yang berarti mengganti ibadah yang tertunda pada waktu yang telah ditentukan sesuai dengan syariat.
Sya’ban menjadi bulan terakhir bagi mereka yang masih memiliki utang puasa, karena setelahnya umat Islam akan memasuki Ramadan yang baru. Namun, ada pendapat yang menyatakan bahwa puasa setelah Nisfu Sya’ban (15 Sya’ban) hukumnya terlarang, terutama bagi mereka yang melaksanakan puasa sunnah. Lantas, bagaimana dengan qadha puasa Ramadan yang dilakukan setelah pertengahan Sya’ban? Apakah masih diperbolehkan?
Bolehkah Mengqadha Puasa Setelah Nisfu Sya’ban?

Menurut pandangan mayoritas ulama, berpuasa setelah 15 Sya’ban memang dilarang dalam konteks puasa sunnah. Namun, aturan ini tidak berlaku untuk puasa wajib, seperti qadha puasa Ramadan. Hal ini dijelaskan oleh Alhafiz Kurniawan dalam NU Online, yang mengutip pendapat dari mazhab Syafi’i—mazhab yang dianut oleh mayoritas Muslim di Indonesia. Dalam pandangan Syafi’iyah, mengqadha puasa setelah Nisfu Sya’ban tetap diperbolehkan.
Baca juga: 6 Cara Bijak Mengajarkan Puasa pada Anak Sejak Dini
Artinya, bagi siapa saja yang masih memiliki utang puasa Ramadan tahun lalu, mereka tetap dapat menggantinya meskipun sudah melewati tanggal 15 Sya’ban. Ini berbeda dengan puasa sunnah, yang lebih dianjurkan untuk dihentikan setelah Nisfu Sya’ban guna mempersiapkan diri menyambut bulan Ramadan.
Konsekuensi Menunda Qadha Puasa Hingga Ramadan Selanjutnya

Meskipun Islam memberikan kelonggaran dalam waktu pelaksanaan qadha puasa, ada konsekuensi bagi mereka yang menunda tanpa alasan hingga masuk Ramadan berikutnya. Menurut Alhafiz Kurniawan dalam artikel NU Online lainnya, seseorang yang lalai dalam mengganti puasa hingga memasuki Ramadan berikutnya wajib:
- Tetap mengqadha puasa yang tertinggal.
- Membayar fidyah, yaitu denda berupa pemberian makanan kepada fakir miskin.
Pendapat ini merujuk pada penjelasan Syekh M. Nawawi Banten dalam kitab Kasyifatus Saja ala Safinatun Najah halaman 114. Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa fidyah wajib dibayarkan sebesar satu mud untuk setiap hari puasa yang belum diganti, sebagai bentuk tebusan atas kelalaian dalam menjalankan kewajiban.
Baca juga: 3 Pilihan Menu Berbuka Puasa yang Dianjurkan Rasulullah SAW
Besaran Fidyah yang Harus Dibayarkan
Fidyah yang harus dibayarkan bagi mereka yang menunda qadha puasa hingga melewati satu tahun memiliki ukuran tertentu. Dalam fiqih, satu mud adalah takaran yang telah ditetapkan oleh para ulama dari berbagai mazhab, yakni:
- Mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah: 543 gram bahan makanan pokok, seperti beras atau gandum.
- Mazhab Hanafiyah: 815,39 gram bahan makanan pokok.
Fidyah ini diberikan kepada fakir miskin sesuai jumlah hari puasa yang belum diganti. Sebagai contoh, jika seseorang memiliki utang 5 hari puasa, maka ia harus membayar fidyah sebanyak 5 mud bahan makanan pokok.
Mengqadha puasa Ramadan merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang meninggalkan puasa karena alasan tertentu. Bulan Sya’ban adalah waktu terakhir untuk mengganti utang puasa sebelum memasuki Ramadan berikutnya. Jika seseorang menunda qadha puasanya hingga melewati satu tahun tanpa alasan yang jelas, maka ia wajib mengqadha dan membayar fidyah sebagai bentuk tanggung jawab.
Bagi yang masih memiliki utang puasa, sebaiknya segera menggantinya sebelum datangnya Ramadan. Jangan sampai menunda hingga terkena kewajiban membayar fidyah. Semoga kita semua diberikan kemudahan dalam menjalankan ibadah dan menyambut bulan suci Ramadan dengan hati yang bersih serta penuh keberkahan.
- Penulis :
- Latisha Asharani








