
Pantau - Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs A. Khoirul Umam menilai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menghukum KPU untuk menunda pelaksanaan Pemilu 2024 membuktikan kekuasaan masih berupaya untuk memperpanjang masa jabatan Presiden.
"Dangkalnya argumen dalam Amar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang penundaan Pemilu hingga medio 2025 menegaskan bahwa ‘operasi kekuasaan’ untuk menunda Pemilu terbukti masih terus berjalan. Modus operandinya semakin jelas, ketika perdebatan dan konfigurasi politik nasional tidak berpihak pada agenda kepentingan penundaan pemilu, maka cara paling mudah dan efektif adalah dengan memanfaatkan jalur penegakan hukum," kata Khairul Umam kepada Pantau.com, Jumat (3/3/2023).
Umam menjabarkan, putusan melalui mekanisme hukum ini merupakan langkah lain yang dilakukan oleh oknum pemerintahan untuk melanggengkan kekuasaan. Pasalnya narasi perpanjangan jabatan Presiden ditolak mentah-mentah oleh publik dan partai politik, termasuk dari PDI Perjuangan sebagai pengusung Presiden Jokowi.
"Dengan kedok independensi kekuasaan kehakiman, anasir-anasir jahat di lingkaran kekuasaan itu ingin memaksa para aktor politik dan demokrasi untuk menuruti kepentingan dan kegilaan yang selama ini telah dipertontonkan melalui rangkaian narasi penundaan Pemilu lewat ide perpanjangan masa jabatan presiden, 3 periode kekuasaan presiden, ide perpanjangan masa jabatan kepala desa, hingga yang terakhir adalah kontroversi sistem Pemilu proporsional terbuka dan tertutup. Semua itu diorkestrasi sedemikian rupa untuk menghadirkan ketidakpastian persiapan menuju Pemilu 2024 mendatang," tutur Umam.
Umam yang juga Dosen Ilmu Politik & International Studies, Universitas Paramadina ini menambahkan, amar putusan PN Jakpus ini bukan semata-mata menunjukkan rendahnya kualitas pemahaman Majelis Hakim terhadap konteks UU No.7/2017 dan objek perkara yang ditanganinya, melainkan juga menguatkan dugaan indikasi terjadinya praktik autocratic legalism.
"Dimana kepentingan sempit (vested interest) dari elit-elit kekuasaan telah masuk ke ranah yudisial, yang terlihat begitu leluasa mengangkangi instrumen hukum sebagai alat legitimasi untuk melancarkan agenda kepentingan dan kegilaan mereka," ujarnya.
"Dugaan autocratic legalism itu semakin kuat ketika kita mencermati amar putusan PN Jakarta Pusat ini, yang mana Majelis Hakim seolah tak paham wilayah yurisdiksi pengadilan perdata, hingga secara serampangan pasal-pasal yang mengatur tentang sengketa proses pemilu dalam UU No.17/ 2017 tentang Pemilu yang legitimasinya dijamin oleh konstitusi UUD 45. Apalagi gugatan Partai Prima di KPU dan Bawaslu juga sebelumnya telah dilayangkan dan ditolak oleh Bawaslu sesuai mekanisme sengketa proses Pemilu, lalu mengapa justru amar putusan PN Jaksel hendak menganulir agenda kerja nasional dan kemaslahatan yang lebih besar berupa persiapan tahapan Pemilu selama ini?," sambung Umam.
Menurutnya Majelis Hakim seolah tak paham bahwa jika mengharapkan kesempurnaan dari proses kompetisi demokrasi, maka tidak akan ada Presiden-Wakil Presiden terpilih dalam setiap Pilpres, karena sel-sel politik masing-masing kontestan juga selalu ada yang melakukan pelanggaran. Namun jika Majelis Hakim tidak memiliki pemahaman sejauh dan sekompleks ini, maka wajar jika masyarakat Indonesia semakin mempertanyakan kualitas dan integritas kehakiman itu sendiri di Tanah Air.
"Rendahnya kualitas pemahaman dan integritas Majelis Hakim yang dipertanyakan itulah yang membuka potensi dugaan adanya intervensi kekuasaan, dimana para elit-elit yang sejak awal berkepentingan menunda Pemilu hendak cuci tangan dengan mengorkestrasi penundaan Pemilu ini melalui permainan hukum, yang terfasilitasi oleh kebodohan dan rendahnya integritas kehakiman di Tanah Air," pungkasnya.
Sebagai informasi, putusan PN Jakpus terkait penundaan Pemilu itu berawal dari gugatan dari Partai Prima yang merasa dirugikan dalam proses verifikasi partai peserta Pemilu 2024. Tidak lolos sebagai peserta Pemilu 2024, Partai Prima pun menggugat KPU ke Bawaslu dan PTUN dan dinyatakan tidak memenuhi syarat. Tak puas dengan hasil di dua lembaga itu, Partai Prima menggugat KPU ke PN Jakarta Pusat. Kamis (2/3/2023), majelis hakim PN Jakpus pun mengabulkan gugatan Partai Prima dan memerintahkan KPU menunda seluruh tahapan proses Pemilu 2024 hingga Juli 2025.
Putusan itu diketok oleh majelis hakim T. Oyong (Hakim Ketua), H Bakri (hakim anggota) dan Dominggus Silaban (hakim anggota).
"Dangkalnya argumen dalam Amar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang penundaan Pemilu hingga medio 2025 menegaskan bahwa ‘operasi kekuasaan’ untuk menunda Pemilu terbukti masih terus berjalan. Modus operandinya semakin jelas, ketika perdebatan dan konfigurasi politik nasional tidak berpihak pada agenda kepentingan penundaan pemilu, maka cara paling mudah dan efektif adalah dengan memanfaatkan jalur penegakan hukum," kata Khairul Umam kepada Pantau.com, Jumat (3/3/2023).
Umam menjabarkan, putusan melalui mekanisme hukum ini merupakan langkah lain yang dilakukan oleh oknum pemerintahan untuk melanggengkan kekuasaan. Pasalnya narasi perpanjangan jabatan Presiden ditolak mentah-mentah oleh publik dan partai politik, termasuk dari PDI Perjuangan sebagai pengusung Presiden Jokowi.
"Dengan kedok independensi kekuasaan kehakiman, anasir-anasir jahat di lingkaran kekuasaan itu ingin memaksa para aktor politik dan demokrasi untuk menuruti kepentingan dan kegilaan yang selama ini telah dipertontonkan melalui rangkaian narasi penundaan Pemilu lewat ide perpanjangan masa jabatan presiden, 3 periode kekuasaan presiden, ide perpanjangan masa jabatan kepala desa, hingga yang terakhir adalah kontroversi sistem Pemilu proporsional terbuka dan tertutup. Semua itu diorkestrasi sedemikian rupa untuk menghadirkan ketidakpastian persiapan menuju Pemilu 2024 mendatang," tutur Umam.
Umam yang juga Dosen Ilmu Politik & International Studies, Universitas Paramadina ini menambahkan, amar putusan PN Jakpus ini bukan semata-mata menunjukkan rendahnya kualitas pemahaman Majelis Hakim terhadap konteks UU No.7/2017 dan objek perkara yang ditanganinya, melainkan juga menguatkan dugaan indikasi terjadinya praktik autocratic legalism.
"Dimana kepentingan sempit (vested interest) dari elit-elit kekuasaan telah masuk ke ranah yudisial, yang terlihat begitu leluasa mengangkangi instrumen hukum sebagai alat legitimasi untuk melancarkan agenda kepentingan dan kegilaan mereka," ujarnya.
"Dugaan autocratic legalism itu semakin kuat ketika kita mencermati amar putusan PN Jakarta Pusat ini, yang mana Majelis Hakim seolah tak paham wilayah yurisdiksi pengadilan perdata, hingga secara serampangan pasal-pasal yang mengatur tentang sengketa proses pemilu dalam UU No.17/ 2017 tentang Pemilu yang legitimasinya dijamin oleh konstitusi UUD 45. Apalagi gugatan Partai Prima di KPU dan Bawaslu juga sebelumnya telah dilayangkan dan ditolak oleh Bawaslu sesuai mekanisme sengketa proses Pemilu, lalu mengapa justru amar putusan PN Jaksel hendak menganulir agenda kerja nasional dan kemaslahatan yang lebih besar berupa persiapan tahapan Pemilu selama ini?," sambung Umam.
Menurutnya Majelis Hakim seolah tak paham bahwa jika mengharapkan kesempurnaan dari proses kompetisi demokrasi, maka tidak akan ada Presiden-Wakil Presiden terpilih dalam setiap Pilpres, karena sel-sel politik masing-masing kontestan juga selalu ada yang melakukan pelanggaran. Namun jika Majelis Hakim tidak memiliki pemahaman sejauh dan sekompleks ini, maka wajar jika masyarakat Indonesia semakin mempertanyakan kualitas dan integritas kehakiman itu sendiri di Tanah Air.
"Rendahnya kualitas pemahaman dan integritas Majelis Hakim yang dipertanyakan itulah yang membuka potensi dugaan adanya intervensi kekuasaan, dimana para elit-elit yang sejak awal berkepentingan menunda Pemilu hendak cuci tangan dengan mengorkestrasi penundaan Pemilu ini melalui permainan hukum, yang terfasilitasi oleh kebodohan dan rendahnya integritas kehakiman di Tanah Air," pungkasnya.
Sebagai informasi, putusan PN Jakpus terkait penundaan Pemilu itu berawal dari gugatan dari Partai Prima yang merasa dirugikan dalam proses verifikasi partai peserta Pemilu 2024. Tidak lolos sebagai peserta Pemilu 2024, Partai Prima pun menggugat KPU ke Bawaslu dan PTUN dan dinyatakan tidak memenuhi syarat. Tak puas dengan hasil di dua lembaga itu, Partai Prima menggugat KPU ke PN Jakarta Pusat. Kamis (2/3/2023), majelis hakim PN Jakpus pun mengabulkan gugatan Partai Prima dan memerintahkan KPU menunda seluruh tahapan proses Pemilu 2024 hingga Juli 2025.
Putusan itu diketok oleh majelis hakim T. Oyong (Hakim Ketua), H Bakri (hakim anggota) dan Dominggus Silaban (hakim anggota).
- Penulis :
- Fadly Zikry