
Pantau - Dewan Pers merekomendasikan peninjauan kembali Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan Fungsional Kepolisian Terhadap Orang Asing.
Perpol ini dinilai bisa dimaknai sebagai bentuk kontrol terhadap kerja jurnalis, meskipun disebut bertujuan untuk pelayanan dan perlindungan.
Berpotensi Bertentangan dengan Kebebasan Pers
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menegaskan bahwa Perpol 3/2025 berpotensi melanggar prinsip pers yang demokratis, profesional, independen, menjunjung moralitas, serta asas praduga tak bersalah.
Prinsip-prinsip tersebut merupakan bagian dari upaya untuk memajukan, memenuhi, dan menegakkan kemerdekaan pers sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dewan Pers juga menyesalkan penerbitan Perpol 3/2025 yang tidak melibatkan pihak terkait, seperti Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), organisasi jurnalis, dan perusahaan pers.
Salah satu klausula dalam Perpol ini menyangkut kerja jurnalistik, yang seharusnya mendapat masukan dari organisasi pers agar tidak tumpang tindih dengan regulasi yang sudah ada.
Potensi Tumpang Tindih Kewenangan
Perpol 3/2025 dianggap bertentangan dengan UU No. 40/1999 tentang Pers dan UU No. 32/2002 tentang Penyiaran.
Regulasi ini mencakup aspek kerja jurnalistik pers, seperti mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyiarkan berita, yang seharusnya berada dalam ranah UU Pers.
Selain itu, fungsi pengawasan terhadap kerja jurnalistik, termasuk jurnalis asing, merupakan kewenangan Dewan Pers, bukan Kepolisian.
Perizinan bagi jurnalis asing juga sudah diatur dalam UU No. 32/2002 tentang Penyiaran, Peraturan Pemerintah No. 49 Tahun 2005, serta Peraturan Menteri Kominfo No. 42/PER/M.KOMINFO/10/2009, di mana kewenangan utamanya berada di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
Dewan Pers juga menyoroti dasar hukum yang digunakan dalam Perpol ini, yang mengacu pada UU No. 2/2002 tentang Kepolisian, yang telah diubah oleh UU No. 6/2023 tentang Cipta Kerja.
Namun, Perpol ini tidak merujuk pada perubahan UU No. 63/2024 tentang Keimigrasian, yang mengatur izin masuk warga negara asing, termasuk jurnalis, ke Indonesia.
Regulasi ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar lembaga, memperpanjang birokrasi bagi aktivitas jurnalis asing di Indonesia, dan menjadi komoditas bagi oknum aparat penegak hukum.
- Penulis :
- Pantau Community