
Pantau - Haul Gus Dur kembali digelar sebagai momen bukan hanya untuk mengenang sosok Presiden keempat RI itu, melainkan juga menghidupkan kembali pesan-pesan penting tentang kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di tengah situasi sosial yang masih dipenuhi kekerasan, diskriminasi, dan ketimpangan, haul ini menjadi pengingat bahwa politik seharusnya berangkat dari kepedulian terhadap manusia, terutama mereka yang kerap dipinggirkan.
Kerinduan terhadap Gus Dur mencuat karena keteladanan yang ia wariskan semakin langka di tengah kehidupan politik saat ini.
"Gus Dur tidak mewariskan rumus politik yang rumit, melainkan keberanian untuk tetap waras di tengah situasi yang sering kehilangan akal sehat," ungkap salah satu peserta haul.
Gus Dur dikenal luas sebagai “Bapak Kemanusiaan” karena keberpihakannya terhadap kelompok lemah tidak hanya berhenti pada wacana, tapi diwujudkan dalam tindakan nyata.
Ia tegas membela kelompok minoritas, korban ketidakadilan, dan mereka yang mengalami stigma sosial.
Dalam setiap sikap dan kebijakan, Gus Dur menjadikan martabat manusia sebagai tolok ukur utama.
Nilai-nilai ini, sebagai bagian dari warisan tokoh Nahdlatul Ulama (NU), harus terus dihidupkan dalam tindakan konkret, bukan sekadar simbolik.
Bagi Gus Dur, politik adalah jalan untuk melindungi yang tertindas, membuka ruang bagi suara yang dibungkam, dan merawat persaudaraan tanpa memaksakan keseragaman.
Kemanusiaan sebagai Prinsip, Bukan Retorika
Prinsip kemanusiaan Gus Dur tercermin kuat dalam tindakan langsung, bukan dalam retorika politik.
Dalam Haul ke-16 yang diselenggarakan di Ciganjur, panitia membuka donasi kemanusiaan untuk warga terdampak bencana di Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh.
Donasi tersebut difokuskan untuk kebutuhan mendesak seperti logistik, air bersih, dropping air, pengaktifan sumur, dan penyaluran bantuan oleh relawan GUSDURian.
Langkah ini menunjukkan bahwa warisan Gus Dur hidup dalam wujud perhatian nyata kepada kelompok rentan.
Sebagai presiden, Gus Dur pernah mencabut kebijakan-kebijakan diskriminatif terhadap warga Tionghoa, membuka kembali ruang perayaan Imlek, dan mengakui Konghucu sebagai agama resmi di Indonesia.
Di bidang kebebasan sipil, Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan pada tahun 1999, yang menjadi titik balik penting dalam membuka era kebebasan pers dan berekspresi setelah masa pembungkaman panjang.
Kebijakan-kebijakan tersebut didasarkan pada prinsip sederhana: martabat manusia tidak boleh dikalahkan oleh selera kekuasaan atau ketakutan politik.
Dalam isu Papua, Gus Dur menunjukkan pendekatan yang berbeda: langsung menyentuh persoalan identitas, kekerasan, dan rasa keterpinggiran dengan dialog dan empati, bukan represi.
- Penulis :
- Gerry Eka





