
Pantau - Disrupsi digital terus mengubah lanskap industri keuangan dan asuransi di Indonesia, mendorong pelaku industri untuk segera beradaptasi dengan teknologi, memperkuat tata kelola, serta meningkatkan kepatuhan terhadap regulasi.
Percepatan digitalisasi ini tercermin dalam laporan e-Conomy SEA 2024 dari Google, Temasek, dan Bain & Company, yang mencatat bahwa ekonomi digital Asia Tenggara mencapai Gross Merchandise Value (GMV) sebesar US$263 miliar pada tahun 2024, tumbuh 15% secara tahunan.
Tantangan dan Peluang Industri Asuransi di Era Digital
Sektor e-commerce menjadi penyumbang utama dengan GMV US$65 miliar atau sekitar Rp1.082 triliun, mendorong sektor lain seperti keuangan dan asuransi untuk turut bertransformasi.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan pentingnya transformasi menyeluruh melalui regulasi POJK 11/2023 dan POJK 23/2023.
"OJK menargetkan implementasi penuh POJK 11/2023 pada 2026 untuk sektor asuransi, termasuk syariah. Harapannya, industri akan mengalami pertumbuhan yang lebih sehat dengan tata kelola yang kuat," ujar Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, Mirza Adityaswara.
Transformasi digital juga dinilai penting untuk meningkatkan akuntabilitas, terutama di tengah rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap sektor asuransi.
Teknologi big data dan kecerdasan buatan (AI) kini memainkan peran strategis dalam proses klaim asuransi dan deteksi penipuan.
AI telah mempercepat proses klaim dari rata-rata tujuh hari menjadi kurang dari 24 jam, dan tingkat akurasi deteksi fraud pada beberapa perusahaan telah mencapai lebih dari 90 persen.
Data juga digunakan untuk merancang produk asuransi berbasis perilaku, seperti usage-based insurance, yang menyesuaikan premi dengan gaya hidup dan aktivitas pengguna.
Pendekatan ini dianggap lebih adil, efisien, dan mampu menekan fraud yang menurut Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mencapai 10 persen dari total klaim tahunan.
Penetrasi Masih Rendah, Inovasi Jadi Kunci
Meskipun industri asuransi umum mencatatkan premi sebesar Rp112,9 triliun pada triwulan IV 2024 atau tumbuh 8,7 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, penetrasi asuransi nasional masih tergolong rendah.
Data OJK menunjukkan penetrasi hanya mencapai 2,80 persen dari PDB per September 2024 dan menurun menjadi 2,72 persen per Februari 2025.
Angka ini masih jauh di bawah negara-negara ASEAN lain seperti Malaysia (4,8 persen) dan Singapura (11,4 persen).
Untuk mengatasi hal tersebut, OJK mendorong pengembangan produk asuransi yang lebih inklusif dan personal, seperti produk jangka pendek, asuransi perjalanan berbasis durasi, serta asuransi digital bagi pengguna aktif layanan online.
Transformasi digital di sektor transportasi dan e-commerce dinilai sebagai pembelajaran penting.
Dalam laporan e-Conomy SEA 2024, video commerce menyumbang 20 persen dari total GMV e-commerce, meningkat tajam dari kurang dari 5 persen pada 2022.
Transportasi dan layanan pengantaran mencatat GMV sebesar US$9 miliar dengan pertumbuhan 13 persen year-on-year.
Sektor perbankan juga menunjukkan keberhasilan melalui pengembangan super app dan layanan keuangan terintegrasi, menjadikan transformasi digital sebagai indikator utama kesehatan perusahaan.
"Yang bertahan bukan yang paling besar atau paling canggih, melainkan yang paling akuntabel, adaptif, dan dipercaya," demikian disampaikan dalam laporan tersebut.
Industri keuangan dan asuransi Indonesia disebut memiliki ruang pertumbuhan yang besar, namun pilihan ke depan hanya dua: melakukan transformasi menyeluruh atau tertinggal di era digital.
- Penulis :
- Aditya Yohan