
Pantau - Rangkaian kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat telah berakhir. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis kepada seluruh terdakwa.
Terakhir, terdakwa Richard Eliezer divonis penjara selama 1,5 tahun pada sidang yang berlangsung Rabu (15/2/2023). Vonis ini jauh lebih ringan ketimbang seluruh terdakwa lainnya.
Sebagaimana diketahui, Ferdy Sambo mendapat vonis pidana mati, Putri Chandrawati 20 tahun penjara, Kuat Ma'ruf 15 tahun, dan Ricky Rizal 13 tahun.
Meski kerap disebut sebagai 'pelaku utama' penembakan terhadap korban Brigadir Yosua, namun Richard Eliezer justru mendapat vonis paling ringan. Apa sebabnya?
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada sidang tuntutan, Rabu (18/1/2023) menuntut Richard Eliezer dengan hukuman 12 tahun penjara. Jaksa menilai Richard terbukti melanggar Pasal 340 KUHP, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
JPU juga menyatakan Richard bukanlah sebagai justice collaborator (JC) atau saksi-pelaku yang membantu, serta turut bekerja sama mengungkap fakta, serta rangkaian peristiwa pembunuhan berencana Brigadir J.
Penilaian jaksa tersebut mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 4/2011 tentang whistleblower, dan JC, serta Undang-undang (UU) LPSK 31/2014.
Dalam SEMA 4/2011 tentang aturan JC itu berbunyi, Seperti tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang (TPPU), perdagangan orang (TPPO), maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir, yang telah menimbulkan masalah dan ancaman serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat sehingga meruntuhkan lembaga, serta nilai-nilai demokrasi, etika dan keadilan, serta membahayakan pembangunan berkelanjutan, dan supremasi hukum.
Sementara, kasus Richard Eliezer adalah terkait pembunuhan berencana, di mana Richard turut serta dalam menghilangkan nyawa korban Brigadir Yosua di rumah dinas Duren Tiga.
Namun begitu, majelis hakim dalam putusannya, Rabu (15/2/2023), membuang seluruh penilaian jaksa dalam rekusitornya terhadap Richard Eliezer.
Majelis hakim memang menyatakan Richard bersalah dalam melakukan perampasan nyawa, dan turut serta melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua.
Namun dalam putusannya, majelis hakim justru menebalkan status Richard sebagai JC. Penetapan sebagai JC inilah yang menjadi satu-satunya alasan yuridis paling kuat dalam pertimbangan majelis hakim dalam menjatuhkan hukuman ringan terhadap Richard.
Bahkan, majelis hakim pun melakukan langkah progresif dengan melakukan penyimpangan yang positif terhadap SEMA 4/2011 tentang whistleblower dan JC.
Menurut majelis hakim, SEMA 4/2011 terbit lebih awal dari Undang-undang (UU) 31/2014 tentang revisi terhadap UU Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) 13/2006.
Dalam UU LPSK, mengatur soal kompensasi hukuman ringan sebagai penghargaan atas pengungkapan fakta dan kerja sama yang dilakukan oleh saksi-pelaku atau justice collaborator.
Meski dalam pelaksanaan UU LPSK tersebut mengacu pada SEMA 4/2011, akan tetapi aturan mahkamah tersebut tak mengakomodasi perkembangan hukum di masyarakat yang menuntut keadilan lebih terhadap saksi-pelaku dalam tindak pidana tertentu lainnya.
"Majelis hakim melihat perkembangan keadilan di dalam masyarakat yang menghendaki bahwa whistleblower, dan saksi-pelaku yang bekerja sama, atau justice collaborator tidak semata-mata hanya didasarkan dengan tindak pidana tertentu yang diatur dalam SEMA 4 Tahun 2011," ujar hakim Alimin.
Hakim Alimin menyatakan, Richard terpaut 18 hirarki kepangkatan dari Ferdy Sambo, yang saat pembunuhan terjadi masih menjabat sebagai Kadiv Propam Polri dengan pangkat Inspektur Jenderal (Irjen).
Menurutnya, peran terdakwa Sambo sebagai dalang utama pembunuhan berencana Brigadir Yosua, tentunya akan memengaruhi kondisi psikologis serta keselamatan jiwa Richard yang juga sebagai pelaku.
"Meskipun terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu benar orang yang melakukan penembakan terhadap korban Yosua Hutabarat, tetapi terdakwa bukanlah pelaku utama," terangnya.
Atas berbagai pertimbangan tersebut, majelis hakim menjatuhkan vonis kurungan penjara selama 1 tahun 6 bulan terhadap Richard Eliezer.
Terakhir, terdakwa Richard Eliezer divonis penjara selama 1,5 tahun pada sidang yang berlangsung Rabu (15/2/2023). Vonis ini jauh lebih ringan ketimbang seluruh terdakwa lainnya.
Sebagaimana diketahui, Ferdy Sambo mendapat vonis pidana mati, Putri Chandrawati 20 tahun penjara, Kuat Ma'ruf 15 tahun, dan Ricky Rizal 13 tahun.
Meski kerap disebut sebagai 'pelaku utama' penembakan terhadap korban Brigadir Yosua, namun Richard Eliezer justru mendapat vonis paling ringan. Apa sebabnya?
Tuntutan Jaksa
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada sidang tuntutan, Rabu (18/1/2023) menuntut Richard Eliezer dengan hukuman 12 tahun penjara. Jaksa menilai Richard terbukti melanggar Pasal 340 KUHP, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
JPU juga menyatakan Richard bukanlah sebagai justice collaborator (JC) atau saksi-pelaku yang membantu, serta turut bekerja sama mengungkap fakta, serta rangkaian peristiwa pembunuhan berencana Brigadir J.
Penilaian jaksa tersebut mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 4/2011 tentang whistleblower, dan JC, serta Undang-undang (UU) LPSK 31/2014.
Dalam SEMA 4/2011 tentang aturan JC itu berbunyi, Seperti tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang (TPPU), perdagangan orang (TPPO), maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir, yang telah menimbulkan masalah dan ancaman serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat sehingga meruntuhkan lembaga, serta nilai-nilai demokrasi, etika dan keadilan, serta membahayakan pembangunan berkelanjutan, dan supremasi hukum.
Sementara, kasus Richard Eliezer adalah terkait pembunuhan berencana, di mana Richard turut serta dalam menghilangkan nyawa korban Brigadir Yosua di rumah dinas Duren Tiga.
Pertimbangan majelis hakim
Namun begitu, majelis hakim dalam putusannya, Rabu (15/2/2023), membuang seluruh penilaian jaksa dalam rekusitornya terhadap Richard Eliezer.
Majelis hakim memang menyatakan Richard bersalah dalam melakukan perampasan nyawa, dan turut serta melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua.
Namun dalam putusannya, majelis hakim justru menebalkan status Richard sebagai JC. Penetapan sebagai JC inilah yang menjadi satu-satunya alasan yuridis paling kuat dalam pertimbangan majelis hakim dalam menjatuhkan hukuman ringan terhadap Richard.
Bahkan, majelis hakim pun melakukan langkah progresif dengan melakukan penyimpangan yang positif terhadap SEMA 4/2011 tentang whistleblower dan JC.
Menurut majelis hakim, SEMA 4/2011 terbit lebih awal dari Undang-undang (UU) 31/2014 tentang revisi terhadap UU Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) 13/2006.
UU LPSK dan Vonis Ringan
Dalam UU LPSK, mengatur soal kompensasi hukuman ringan sebagai penghargaan atas pengungkapan fakta dan kerja sama yang dilakukan oleh saksi-pelaku atau justice collaborator.
Meski dalam pelaksanaan UU LPSK tersebut mengacu pada SEMA 4/2011, akan tetapi aturan mahkamah tersebut tak mengakomodasi perkembangan hukum di masyarakat yang menuntut keadilan lebih terhadap saksi-pelaku dalam tindak pidana tertentu lainnya.
"Majelis hakim melihat perkembangan keadilan di dalam masyarakat yang menghendaki bahwa whistleblower, dan saksi-pelaku yang bekerja sama, atau justice collaborator tidak semata-mata hanya didasarkan dengan tindak pidana tertentu yang diatur dalam SEMA 4 Tahun 2011," ujar hakim Alimin.
Hakim Alimin menyatakan, Richard terpaut 18 hirarki kepangkatan dari Ferdy Sambo, yang saat pembunuhan terjadi masih menjabat sebagai Kadiv Propam Polri dengan pangkat Inspektur Jenderal (Irjen).
Menurutnya, peran terdakwa Sambo sebagai dalang utama pembunuhan berencana Brigadir Yosua, tentunya akan memengaruhi kondisi psikologis serta keselamatan jiwa Richard yang juga sebagai pelaku.
"Meskipun terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu benar orang yang melakukan penembakan terhadap korban Yosua Hutabarat, tetapi terdakwa bukanlah pelaku utama," terangnya.
Atas berbagai pertimbangan tersebut, majelis hakim menjatuhkan vonis kurungan penjara selama 1 tahun 6 bulan terhadap Richard Eliezer.
- Penulis :
- Aditya Andreas