
Pantau.com - Capres Nomor urut 02 Prabowo Subianto sempat menyatakan, tak usah lagi menyebut Menteri Keuangan namun ia menyarankan lebih baik disebut Menteri Pencetak Utang. Kemudian, sindiran itu dibalas Menteri Keuangan, Sri Mulyani dengan sebuah puisi yang menggambarkan bahwa utang RI dikelola dengan produktif.
Namun sebetulnya masih amankah posisi utang Indonesia?
Pengamat Ekonomi, Chatib Basri memaparkan bahwa utang RI masih relatif aman. Kendati demikian, Mantan Menteri Keuangan era Susilo Bambang Yudhoyono ini mengatakan bukan berarti bisa dibiarkan.
"Utang kita masih aman, tapi bukan berarti kita tidak perlu berhati-hati," tulisnya dalam media sosial Twitter, melalui akun resminya @ChatibBasri Rabu (6/2/2019).
Baca juga: Didukung Luar Dalam, Rupiah Hari Ini Diprediksi Parkir ke Level Rp13.900
Lebih lanjut kata dia, pada tahun 2005 rasio utang terhadap PDB mencapai 47,3 persen, jumlah tersebut terus mengalami penurunan hingga mencapai titik terendah pada tahun 2012 sebesar 23 persen, dan berangsur stabil di tahun 2013-2014 di 24-25 persen, kemudian kembali meningkat sejak tahun 2018 mencapai 29 persen.
"Ketika rasio utang terhadap PDB menurun (tahun 2012-2014), itu artinya hasil dari usaha kita (PDB) lebih tinggi dari bunga utang yang harus dibayar atau (dengan kata lain) tambahan utang baru relatif kecil. Faktor utama yang bisa menjelaskan adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi," katanya.
Menurutnya, peningkatan rasio utang yang mengalami peningkatan sejak 2015 tak lepas dari ertumbuhan ekonomi berkisar 5 persen-an dan defisit anggaran yang meningkat. Namun menurutnya, rasio utang di level 29 persen dinilai masih aman.
"Namun apakah ini mencemaskan? Jawabannya: Tidak. Coba lihat kembali grafik rasio utang terhadap PDB. Rasio utang/PDB 29 persen memang tak serendah tahun 2009-2016, namun level 29 persen masih aman. Lihat tahun 1999-2008 rasio utang/PDB kita lebih tinggi dari 2018. Toh ekonomi kita baik-baik saja," katanya.
Baca juga: Bayar Utang Lagi, Devisa Negara Tinggal 120,1 Miliar Dolar AS
Chatib menambahkan, tahun 2012 dinilai memiliki rasio utang cukup kecil pasalnya sampai tahun 2013 pertumbuhan ekonomi masih mencapai 5.6 persen. Hal ini disebabkan karena adanya boom commodity dan kebijakan pemerintah.
Namun setelah harga komoditas jatuh, pertumbuhan ekonomi juga mulai melambat, konsumsi juga melambat terutama 2015. Saat yang sama defisit APBN meningkat tajam.
"Defisit anggaran mencapai puncaknya tahun 2015 karena target pajak yang begitu tinggi dan tak tercapai. Namun pada tahun 2018 defisit anggaran sudah berhasil diturunkan menjadi 1.76 persen (bahkan lebih rendah dari defisit APBN th 2012)," jelasnya.
Baca juga: Tol Banyak Dikritik, Jasa Marga: Kita Prinsipnya Punya Jalan Tol Baru
Selain itu kata dia, keseimbangan primer dalam APBN juga menurun secara tajam. Artinya jika defisit keseimbangan primer menurun maka tambahan utang mengecil. Selain itu infrastruktur yang dibangun dalam jangka menengah panjang diproyeksikan akan menaikkan PDB.
"Artinya pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Jika tambahan utang menurun (cerminan dari defisit pimer yang turun), pertumbuhan ekonomi meningkat dan tingkat bunga tetap (karena Fed menahan kenaikan bunga), bisa diduga rasio utang/PDB akan kembali menurun," jelasnya.
"Itu sebabnya, saya mengatakam bahwa utang Indonesia relatif aman karena rasio utang/PDB nya masih sekitar 29 persen, dan jika pemerintah menjaga keseimbangan primer dan mendorong pertumbuhan, maka rasio ini akan menurun," pungkasnya.
- Penulis :
- Nani Suherni