
Pantau.com - Memasuki revolusi industri 4.0 bisnis digital kian menjamur. Meski demikian, Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menilai sektor ekonomi digital tumbuh dengan dibarengi ketidakpastian. Antara lain bayang-bayang kebijakan perpajakan yang belum menentu.
"Menurut lNSEAD Global Talent Competitiveness Index, daya saing lndonesia terbilang rendah, saat ini berada di urutan 90 dari 118 negara," ujar Direktur Eksekutif CITA, Yustinus Prastowo dalam diskusi yang digelar di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (25/10/2018).
Menurutnya, konsep bisnis digital dinilai ini tak lagi mengenal batas yuridiksi negara saat bertransaksi, tak lagi terbatas waktu, dapat diakses kapan pun dan di mana pun, serta keberadaannya yang tak lagi 'kasat mata' atau virtual.
Baca juga: Pasar Digital Indonesia 2020 Diproyeksi Capai Rp1.950 Triliun, Tapi...
Pihaknya menilai, agar daya saing meningkat dan investasi sektor ekonomi digital tumbuh sesuai harapan, pihaknya menilai harus ada upaya yang dilakukan. Salah satunya negara harus memperoleh hak penerimaan pajak dari aktivitas digital.
"Kami mendukung prinsip keadilan, bahwa negara harus memperoleh haknya berupa penerimaan perpajakan dari aktivitas ekonomi digital," katanya.
Namun imbuhnya, hal tersebut tetap harus mempertimbangkan prinsip kehati-hatian, proporsionalitas, dan fairness, termasuk pertimbangan pentingnya komparasi kebijakan dengan negara lain dan memperhatikan tren perpajakan global.
Untuk itu, pihaknya berharap pemerintah segera menerbitkan kebijakan dan aturan perpajakan demi menciptakan kepastian hukum bagi sektor ekonomi digital.
Baca juga: Bukan Kartu Kredit, yang Niat Tinggal di Jakarta Wajib Miliki 3 Hal Berikut
"Aturan yang ada (SE-62/PJ/2013, dll) dinilai belum cukup komprehensif dan kuat dalam mengatur pemajakan yang adil dan efektif bagi industri e-commerce. Poin-poin krusial antara lain subjek pajak, objek PPN berupa BKP/JKP (Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak) yang harus dibuat lebih jelas, DPP (Dasar Pengenaan Pajak) PPN atas transaksi pemberian cuma-cuma yang sering dilakukan sebagai bentuk promosi, mekanisme pemungutan, dan sebagainya," paparnya.
Selain itu, pengaturan dan pengawasan juga dinilainya juga harus dilakukan terhadap pemungutan PPN dan Wajib Pajak (WP) BADAN/Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) Yang sudah memiliki omset diatas Rp4,8 miliar.
"Karena besarnya potensi PPN dari ecommerce domestik, sedangkan, pemungutan PPN atas barang impor (e-commerce asing) sebagian telah dapat dipungut saat impor," pungkasnya.
- Penulis :
- Nani Suherni