Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Asuransi Wajib Ranmor Tuai Kecaman, DPR: Revisi Dulu UU LLAJ

Oleh Aditya Andreas
SHARE   :

Asuransi Wajib Ranmor Tuai Kecaman, DPR: Revisi Dulu UU LLAJ
Foto: Ilustrasi sejumlah kendaraan melintas di jalan raya. (foto: ANTARA)

Pantau - Kebijakan yang mewajibkan asuransi kendaraan bermotor (ranmor) mengikuti asuransi third party liability (TPL) mulai Januari 2025 mendapat kritikan tajam. 

Ketentuan ini, yang diatur dalam Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK), dianggap belum menjadi solusi komprehensif untuk permasalahan kecelakaan lalu lintas.

Anggota Komisi V DPR RI, Suryadi Jaya Purna, meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak asal mengutip UU PPSK. 

Menurutnya, Program Asuransi Wajib untuk kendaraan bermotor tidak secara langsung menjadi kewajiban, melainkan hanya terkait dengan kecelakaan lalu lintas.

“Penjelasan Pasal 39A UU P2SK secara gamblang menyebutkan bahwa Program Asuransi Wajib itu di antaranya mencakup asuransi tanggung jawab hukum pihak ketiga (third party liability) terkait salah satunya adalah kecelakaan lalu lintas,” ujar Suryadi, Senin (22/7.2024).

Suryadi menjelaskan bahwa Program Asuransi Wajib untuk kendaraan bermotor bersifat kuratif-rehabilitatif, bukan promotif dan preventif. 

Oleh karena itu, menurutnya, solusi atas kecelakaan lalu lintas harus lebih komprehensif, bukan hanya dengan mewajibkan asuransi bagi kendaraan.

“Jika memang pemerintah benar-benar serius mencari solusi atas kecelakaan lalu lintas secara komprehensif, seharusnya jangan asal bunyi asuransi wajib bagi kendaraan, melainkan juga merevisi UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ),” tegasnya.

Suryadi mengusulkan agar revisi UU LLAJ dapat dibahas kembali untuk mencari solusi kecelakaan lalu lintas secara menyeluruh, bukan hanya dengan membebani masyarakat melalui asuransi wajib. 

Menurutnya, praktik asuransi wajib di negara lain tidak dapat dijadikan alasan utama untuk diterapkan di Indonesia.

Lebih lanjut, Suryadi juga mengkhawatirkan bahwa premi asuransi kendaraan bermotor akan menjadi beban tambahan bagi masyarakat. 

Hal ini, mneurutnya, kendaraan bukan hanya sebagai alat transportasi tetapi juga alat produksi bagi banyak orang.

“Alasan ketiga, asuransi wajib bagi kendaraan tersebut baru berlaku setelah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) yang harus mendapatkan persetujuan terlebih dulu dari DPR, seperti tercantum dalam Pasal 39A UU P2SK ayat (4),” jelasnya.

Suryadi menegaskan bahwa jika kewajiban asuransi kendaraan bermotor mendapatkan penolakan keras dari masyarakat dan PP-nya tidak disetujui oleh DPR, maka pemerintah tidak boleh asal memberlakukan asuransi tersebut.

“Sehingga PP-nya tidak disetujui oleh DPR, maka pemerintah tidak boleh asal memberlakukan asuransi tersebut,” pungkasnya.

Penulis :
Aditya Andreas