
Pantau.com - Keberadaan jasa Pinjaman Online menjadi pedang bermata dua. Pasalnya satu sisi banyak kasus negatif yang menimpa namun sisi lain ada pula yang diuntungkan dan menjadi sebuah bisnis.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjelaskan bahwa keberadaan P2P merupakan bentuk alternatif pendanaan yang mempermudah akses keuangan masyarakat. Terutama bagi masyarakat yang tidak terjangkau oleh sistem bank atau tidak bisa mendapatkan akses kredit perbankan.
Juru Bicara OJK, Sekar Putih Djarot mengatakan pihaknya mencatat akumulasi dana yang telah disalurkan oleh industri fintech Pinjaman Online sejak Desember 2016 hingga Oktober 2018 sebesar Rp15,99 triliun.
"Jumlah yang sudah disalurkan Dalam industri fintech per Oktober sebesar Rp 15,99 triliun dengan jumlah borrower (peminjam) 2,8 juta, per Oktober dari 73 penyalur, lendernya 5,6 juta lender, ini posisi akumulasi, akumulatif dari Desember 2016 sampai Oktober 2018," kata Sekar, dalam jumpa pers di Gedung OJK, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Rabu (12/12/2018).
Baca juga: Survei: Pelanggan Indonesia Ingin Mobil Sedan, tapi...
Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Financial Technology OJK Hendrikus Passagi menambahkan, berdasarkan sebuah kajian riset Peer to Peer (P2P) Lending atau penyedia jasa Pinjaman Online telah berkontribusi Rp25 triliun terhadap PDB. Selain itu juga membuka lapangan pekerjaan hingga 250 ribu orang.
"Sekarang ini ada sekitar 3 juta penduduk di seluruh Indonesia yang menggunakan fintech peer to peer lending dan ada sekitar 9 juta transaksi," katanya.
Namun, selain manfaat yang bisa didapat Sekar mengatakan, masyarakat juga harus benar-benar memahami risiko, kewajiban dan biaya saat berinteraksi dengan P2P, sehingga terhindar dari hal-hal yang bisa merugikan.
Baca juga: JD.ID Hingga BukaLapak Banting Diskon Harbolnas 2018 Cuma 12 Perak
"Sesuai dengan POJK 77/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, OJK mengawasi penyelenggara P2P yang berstatus terdaftar atau berizin dan hingga 12 Desember 2018 telah mencapai 78 penyelenggara," katanya.
Sementara, penyelenggara P2P yang tidak terdaftar atau berizin di OJK dikategorikan sebagai P2P ilegal.
"OJK mengingatkan bahwa keberadaan P2P ilegal tidak dalam pengawasan pihak mana pun, sehingga transaksi dengan pihak P2P ilegal sangat berisiko tinggi bagi para penggunanya," pungkasnya.
- Penulis :
- Nani Suherni