Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Standar Baru Bank Dunia Ungkap 68,3 Persen Warga Indonesia Masuk Kategori Miskin, Ini Bukan Soal Data—Tapi Soal Martabat Hidu

Oleh Balian Godfrey
SHARE   :

Standar Baru Bank Dunia Ungkap 68,3 Persen Warga Indonesia Masuk Kategori Miskin, Ini Bukan Soal Data—Tapi Soal Martabat Hidu
Foto: Standar Baru Bank Dunia Ungkap 68,3 Persen Warga Indonesia Masuk Kategori Miskin, Ini Bukan Soal Data—Tapi Soal Martabat Hidup(Sumber: ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari/aa.)

Pantau - Pembaruan platform kemiskinan dan ketimpangan global oleh Bank Dunia pada Juni 2025 mengubah secara signifikan peta kemiskinan Indonesia, seiring penggunaan Purchasing Power Parity (PPP) 2021 sebagai standar baru yang menggantikan PPP 2017.

Bagi Indonesia yang kini dikategorikan sebagai negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income country), garis kemiskinan global naik dari US$6,85 menjadi US$8,30 PPP per kapita per hari.

Lonjakan Statistik Kemiskinan Bukan Manipulasi, Tapi Perubahan Ukuran

Dengan standar baru ini, simulasi atas data Susenas Maret 2024 menunjukkan persentase penduduk miskin Indonesia melonjak dari 60,3 persen menjadi 68,3 persen.

Kenaikan ini bukan disebabkan manipulasi data, melainkan karena perbedaan pendekatan antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia.

BPS menggunakan pendekatan Cost of Basic Needs (CBN) yang berfokus pada konsumsi minimum, sementara Bank Dunia mengukur berdasarkan daya beli dan standar hidup layak antarnegara.

Pergeseran standar ini menjadi momen refleksi atas kesiapan Indonesia mengukur kemiskinan dengan tolok ukur negara maju.

Potret Baru Kemiskinan: Berpendidikan, Bekerja, Tapi Tetap Rentan

Simulasi Bank Dunia menunjukkan bahwa kelompok miskin dengan standar upper-middle income (UMIC) bukan lagi sekadar mereka yang marginal secara klasik.

Hanya 33,4 persen dari mereka tidak tamat SD, lebih rendah dibanding 42,4 persen menurut pendekatan BPS.

Sebaliknya, proporsi lulusan SMA meningkat dari 13,8 persen menjadi 20,2 persen, dan lulusan perguruan tinggi naik dari 1,6 persen menjadi 3,8 persen.

Pendidikan kini tak lagi otomatis menjamin keluar dari kemiskinan tanpa dukungan sistem pasar kerja yang adil dan produktif.

Perubahan juga terlihat dalam sektor pekerjaan: proporsi pekerja sektor pertanian menurun dari 27,7 persen (BPS) menjadi 18,6 persen (UMIC), sementara sektor jasa dan industri meningkat.

Pekerja industri pengolahan sendiri menyumbang 12,2 persen dari total penduduk miskin versi UMIC.

Kemiskinan juga bergeser dari desa ke kota, dari pengangguran ke pekerja aktif yang tetap rentan secara ekonomi.

Kemiskinan Tak Lagi Kasat Mata, Tapi Terlihat dalam Kerentanan

Data menunjukkan bahwa 81,8 persen rumah tangga miskin versi UMIC memiliki sepeda motor, bahkan 5,1 persen memiliki mobil.

Namun, kemiskinan hari ini tidak selalu tampak dari tampilan fisik atau aset, melainkan dari kerentanan struktural: tabungan minim, pekerjaan tanpa kontrak, dan absennya jaminan sosial.

Banyak dari mereka berasal dari kelas menengah bawah—bekerja, berpendidikan—namun tetap rapuh secara finansial.

Dalam pendekatan BPS, orang miskin adalah kelompok the 4L: the last, the least, the lowest, and the lost.

Namun dalam pendekatan UMIC, cakupan meluas hingga kelompok the almost—hampir cukup, hampir aman, hampir sejahtera.

Arah Kebijakan Sosial Harus Menyesuaikan Realitas Baru

Perluasan definisi kemiskinan ini menuntut kebijakan sosial yang lebih inklusif dan progresif.

Jika hanya memakai ukuran lama, maka program sosial hanya akan menyasar lapisan terbawah dan mengabaikan jutaan warga yang sebenarnya masih belum hidup layak.

Menaikkan garis kemiskinan berarti menaikkan standar hidup warga, yang juga berarti peningkatan kebutuhan anggaran, data akurat, dan keberanian politik.

Garis kemiskinan global memang tidak menggantikan definisi nasional, tapi berfungsi sebagai alat pembanding lintas negara dan refleksi terhadap tanggung jawab negara terhadap kualitas hidup warganya.

Ketika Indonesia terlihat lebih “miskin” di mata global, itu bukan karena data salah, tapi karena standar hidup yang layak telah diperbarui.

Pertanyaan pentingnya bukan siapa yang benar—BPS atau Bank Dunia—melainkan: standar hidup seperti apa yang layak diberikan kepada warga negara?

Jika jawabannya adalah kehidupan yang bermartabat, maka ukuran dan kebijakan kita harus menyesuaikan.

Sebab, kemiskinan bukan semata soal angka belanja harian, tapi soal sejauh mana negara menghargai martabat dan kualitas hidup setiap warganya.

Penulis :
Balian Godfrey