Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Transisi Energi Harus Realistis dan Terintegrasi: Pemerintah Fokus pada Aksesibilitas dan Keterjangkauan

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Transisi Energi Harus Realistis dan Terintegrasi: Pemerintah Fokus pada Aksesibilitas dan Keterjangkauan
Foto: (Sumber: Tenaga Ahli Menteri ESDM Bidang Transportasi dan Komersialisasi Minyak dan Gas Bumi Satya Hangga Yudha Widya Putra (kiri atas) berbicara saat webinar annion Chemistry Fair Universitas Indonesia (UI) 2025, Sabtu (27/9/2025). ANTARA/Dokumentasi pribadi)

Pantau - Tenaga Ahli Menteri ESDM Bidang Transportasi dan Komersialisasi Migas, Satya Hangga Yudha Widya Putra, menegaskan pentingnya integrasi rantai pasok energi dari hulu hingga hilir sebagai kunci untuk memenuhi kebutuhan energi nasional secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Dalam paparannya, Hangga menyebut bahwa tantangan terbesar saat ini adalah memastikan seluruh elemen rantai pasok, mulai dari sumber energi, fasilitas, hingga transportasi seperti pipa antarpulau dan terminal regasifikasi, dapat terhubung dalam satu sistem yang terintegrasi.

"Mulai dari sumber energinya, fasilitasnya, transportasinya, mau itu melalui pipa atau kapal atau terminal regasifikasinya, kita juga harus ada sistem pipeline pipa yang terintegrasi antarpulau supaya kita bisa menyuplai energi untuk kebutuhan listrik, industri, dan transportasi. Karena segala sesuatu yang kita lakukan membutuhkan energi," ungkapnya.

Transisi Energi: Realisme di Tengah Dekarbonisasi

Hangga menyatakan bahwa dalam semangat dekarbonisasi dan target net zero emission (NZE) 2060, pemerintah tetap harus realistis terhadap prioritas utama masyarakat, yaitu akses terhadap energi yang terjangkau dan tersedia.

"Yang paling penting kita bisa mendapatkan listrik, nyalain lampu, nyalain AC, ngecas HP, laptop. Kita bisa ke SPBU isi bensin dengan harga yang tidak terlalu mahal. Itu yang paling penting untuk kita. Yang menjadi prioritas bagi masyarakat adalah harga dulu," ujarnya.

Meski Energi Baru Terbarukan (EBT) terus didorong, Hangga mengakui bahwa EBT masih menghadapi dua tantangan utama: harga yang belum kompetitif dan keterbatasan teknologi penyimpanan energi (storage).

"EBT penting, namun harganya harus terjangkau dan bisa menyediakan listrik selama 24 jam terutama untuk kota-kota besar," katanya.

Dalam webinar Annion Chemistry Fair Universitas Indonesia 2025, Hangga memaparkan bahwa produksi minyak Indonesia mengalami penurunan drastis dari puncaknya pada 1995–1996 sebesar 1,6 juta barel per hari menjadi sekitar 600.000 barel per hari saat ini, sedangkan konsumsi mencapai 1,6 juta barel per hari.

Strategi Pemerintah: Optimalisasi dan Diversifikasi Energi

Untuk mengurangi defisit sektor energi dan menjaga keterjangkauan harga, pemerintah menjalankan berbagai strategi, di antaranya:

  • Meningkatkan lifting migas.
  • Membangun unit kilang baru untuk mengurangi impor minyak mentah dan BBM jadi.

Mengoptimalkan produksi dengan teknologi seperti enhanced oil recovery (EOR), horizontal drilling, dan reaktivasi sumur idle sesuai Permen ESDM Nomor 14 Tahun 2025.

Di sisi gas bumi, Indonesia masih memiliki surplus, namun persoalan besar muncul di sektor LPG.

Produksi LPG dalam negeri hanya sekitar 1,97 juta metrik ton, sementara konsumsi LPG bersubsidi mencapai 8,23 juta metrik ton, sehingga impor hampir menyentuh 7 juta metrik ton.

Hangga menegaskan bahwa walau ketergantungan terhadap energi fosil masih tinggi, pemanfaatan EBT tetap menjadi agenda prioritas.

Dalam RUPTL 2025–2034, direncanakan penambahan kapasitas pembangkit sebesar 69,5 GW, dengan 42,6 GW di antaranya berasal dari EBT—atau sekitar 61 persen.

Program biodiesel juga menjadi fokus utama, dengan peningkatan dari B35 ke B40 tahun 2025, dan proyeksi B50 pada tahun 2026.

Program B40 tahun depan diperkirakan mampu menghemat pengeluaran negara hingga Rp147,5 triliun.

Teknologi CCS/CCUS Jadi Solusi Mitigasi Karbon

Hangga juga menyoroti pentingnya pengembangan teknologi carbon capture storage (CCS) dan carbon capture utilization and storage (CCUS) dalam upaya mitigasi karbon, khususnya di negara seperti Indonesia yang masih bergantung pada energi fosil.

Indonesia memiliki potensi penyimpanan karbon terbesar di dunia, yakni hingga 400 gigaton.

Saat ini, terdapat 15 proyek CCS/CCUS yang direncanakan mulai beroperasi antara 2026 hingga 2030.

"Isu transisi energi adalah isu lintas sektoral yang membutuhkan kolaborasi antar kementerian/lembaga untuk mencapai tujuan yakni ketahanan energi, kemandirian energi, dan pembangunan berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip availability, accessibility, affordability, sustainability, dan competitiveness," pungkas Hangga.

Penulis :
Ahmad Yusuf