
Pantau - Nafis Arif Fiyanto (16), seorang remaja difabel asal Kudus yang mengalami tuna rungu dan tuna wicara serta tidak bisa menulis, membuktikan bahwa keterbatasan fisik bukanlah halangan untuk meraih mimpi.
Meski namanya belum dikenal luas dan bahkan sulit ditemukan di mesin pencarian seperti Google, Nafis menunjukkan semangat luar biasa dalam dunia membatik.
Ia bukan maestro batik ataupun perajin terkenal, namun perjuangannya sebagai pembatik berprestasi menjadikannya sosok yang inspiratif.
Bermula dari Outing Class, Nafis Temukan Semangat Baru
Perjalanan Nafis bermula dari program outing class yang diadakan SLB Cendono ke Workshop Muria Batik milik Yuli Astuti di Desa Peganjaran, Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus.
Sebelumnya, Nafis pernah mengikuti program vokasi membatik di sekolahnya, namun belum menunjukkan ketertarikan karena tidak ada dorongan dan suasana yang mendukung.
Ketertarikan mulai tumbuh saat ia mengunjungi workshop batik yang penuh warna, corak, dan melihat langsung proses membatik oleh para pekerja.
Dari sanalah Yuli Astuti melihat potensi dalam diri Nafis, meskipun saat itu ia belum memiliki keterampilan menggambar maupun membatik.
Yuli pun mulai melatih Nafis secara perlahan dan penuh kesabaran—dari mengajarinya memegang canting, mencelupkan malam ke dalam wajan kecil, hingga menggoreskannya ke kain mori bermotif.
Tak Menyerah Meski Terbakar Malam Panas
Pada awal proses belajar, Nafis kerap terkena tetesan malam panas dan mengerang kesakitan.
Namun, ia tidak menyerah.
Nafis terus berlatih menggunakan kain perca kecil berukuran 30x30 cm, mengulang proses membatik dari awal berulang kali.
Motif bunga menjadi motif pertama yang berhasil dikuasainya dan menjadi pengalaman membatik yang tak terlupakan baginya.
Semangat, ketekunan, dan dorongan lingkungan menjadikan Nafis yang awalnya dianggap “bukan siapa-siapa” menjadi pribadi yang luar biasa.
Perjalanannya menjadi bukti nyata bahwa keterbatasan bukanlah alasan untuk berhenti bermimpi.
- Penulis :
- Aditya Yohan







