Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Indonesia Prihatin atas Langkah Banding Uni Eropa Terkait Sengketa Baja di WTO

Oleh Shila Glorya
SHARE   :

Indonesia Prihatin atas Langkah Banding Uni Eropa Terkait Sengketa Baja di WTO
Foto: Ilustrasi - Jajaran direksi PT AM/NS Indonesia melepas ekspor produk baja lapis seng (galvanize) sebanyak 10 .000 ton ke Amerika Serikat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu 30/4/2025 (sumber: PT AM/NS Indonesia)

Pantau - Pemerintah Indonesia menyayangkan langkah Uni Eropa (UE) yang mengajukan banding terhadap Putusan Panel Sengketa DS616 di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengenai pengenaan countervailing duties (CVD) atas produk baja nirkarat asal Indonesia.

Banding ini diajukan oleh UE pada 21 November 2025, di tengah krisis yang masih berlangsung di Badan Banding WTO yang saat ini belum berfungsi secara efektif.

Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Budi Santoso, menyampaikan bahwa panel WTO telah memeriksa sengketa ini secara objektif dan menyimpulkan bahwa tindakan UE dalam mengenakan CVD terhadap baja nirkarat Indonesia adalah keliru dan melanggar aturan WTO.

"Semestinya UE menghentikan pengenaan CVD-nya. Kami sangat prihatin atas langkah banding UE yang menyebabkan putusan panel tidak dapat diadopsi," ungkapnya.

Latar Belakang Sengketa dan Kritik terhadap Mekanisme Banding UE

Sengketa DS616 bermula dari tuduhan UE bahwa Pemerintah Indonesia memberikan subsidi ilegal kepada industri baja yang dinilai merugikan industri baja domestik mereka.

Sebagai tanggapan, sejak Maret 2022, UE menerapkan bea masuk imbalan (CVD) sebesar 13,5–21,4 persen atas produk baja nirkarat asal Indonesia.

Merasa dirugikan, Indonesia membawa sengketa ini ke Badan Penyelesaian Sengketa WTO pada 24 Januari 2023, dan pada 2 Oktober 2025, Panel WTO memutuskan mendukung posisi Indonesia.

Budi menjelaskan bahwa banding memang merupakan hak prosedural yang dimiliki UE, namun seharusnya digunakan untuk mencari kepastian hukum, bukan sebagai strategi untuk mempertahankan kebijakan yang bertentangan dengan aturan WTO.

Ia juga menyoroti bahwa pemerintah Indonesia terbuka untuk menyelesaikan sengketa ini di luar mekanisme Badan Banding WTO, namun UE tidak mengupayakan alternatif penyelesaian secara maksimal.

Sikap Indonesia dan Tantangan Proses Arbitrase Alternatif

"Pemerintah Indonesia selalu terbuka untuk mengeksplorasi opsi-opsi penyelesaian sengketa kasus ini. Namun, UE membatasi opsi hanya kepada mekanisme banding alternatif yang diusungnya sendiri, yaitu Multi-Party Interim Appeal Arbitration Arrangement (MPIA). Pemerintah Indonesia akan terus mengupayakan penyelesaian sengketa ini dan mengimbau UE untuk segera mengubah kebijakan CVD-nya," tegas Budi.

MPIA adalah sistem penyelesaian sengketa alternatif yang diberlakukan selama Badan Banding WTO belum berfungsi, namun menurut Budi, pelaksanaannya dalam beberapa kasus sebelumnya mengecewakan bahkan bagi para anggotanya sendiri.

Indonesia menilai langkah banding ini justru dapat berdampak negatif terhadap ekspor nasional ke kawasan Eropa, terlebih sebelumnya UE juga telah mengajukan banding terhadap putusan Sengketa Biodiesel DS618 yang juga berpihak pada Indonesia.

Situasi ini terjadi di tengah upaya kedua belah pihak untuk memperkuat kerja sama perdagangan bilateral antara Indonesia dan Uni Eropa.

Penulis :
Shila Glorya