
Pantau - Direktur Eksekutif NEXT Indonesia Center, Christiantoko, menyatakan bahwa rencana pemerintah untuk mengenakan bea keluar ekspor batu bara merupakan langkah yang tepat secara momentum, mengingat kondisi industri batu bara yang tengah mengalami tekanan berat.
Harga Turun, Nilai Ekspor dan Upah Pekerja Menyusut
Rencana kebijakan bea keluar ini tercantum dalam Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, dengan tujuan utama untuk mendukung optimalisasi penerimaan negara melalui perluasan basis bea keluar, termasuk terhadap komoditas emas dan batu bara.
Menurut Christiantoko, kebijakan ini sejalan dengan kondisi riil sektor pertambangan batu bara yang sedang melemah akibat turunnya harga komoditas serta penurunan kesejahteraan pekerja.
"Tekanan pada sektor pertambangan batu bara ini terjadi pada banyak indikator, dari harga, nilai ekspor, hingga upah pekerja di sektor tersebut", ujarnya.
Data Bank Dunia per 25 November 2025 mencatat harga batu bara Australia—yang menjadi acuan pasar internasional—hanya sebesar 112,6 dolar AS per ton, terendah dalam 57 bulan terakhir sejak Maret 2021.
Harga acuan batu bara Indonesia juga tercatat turun 20,76 persen secara year to date.
Harga tertinggi pada Januari 2025 mencapai 124,01 dolar AS per ton, namun pada Desember 2025 merosot menjadi 96,26 dolar AS per ton.
"Harga acuan ini akan menjadi dasar perhitungan royalti, bea keluar, serta transaksi", jelas Christiantoko.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor batu bara Indonesia pada September 2025 sebesar 2,0 miliar dolar AS, turun 19,77 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 2,5 miliar dolar AS.
Hilirisasi Dipercepat, Pasokan Batu Bara Harus Terjaga
Lesunya pasar global juga menekan target produksi nasional.
Christiantoko memperkirakan bahwa target produksi batu bara pada 2026 akan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya.
Tekanan ini juga berdampak langsung pada kesejahteraan pekerja tambang.
Pada Agustus 2025, rata-rata upah pekerja sektor tambang tercatat sekitar Rp5 juta, turun 4,68 persen dari rata-rata Rp5,2 juta pada Agustus 2024.
Padahal, selama tujuh tahun terakhir, sektor tambang dikenal sebagai lapangan kerja dengan upah tertinggi di antara 17 sektor lainnya.
Dalam situasi penuh tekanan ini, Christiantoko menegaskan pentingnya hilirisasi batu bara.
"Apalagi pemerintah berencana membangun fasilitas pengolahan batu bara menjadi gas, sehingga membutuhkan pasokan yang memadai", ujarnya.
Menurutnya, momentum saat ini sangat tepat untuk mengatur ulang kebijakan fiskal sektor batu bara sekaligus mempercepat transisi menuju hilirisasi yang lebih berkelanjutan.
- Penulis :
- Gerry Eka






