Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

BPKN Sebut Aturan Tarif Batas Atas Bisa Jadi 'Akal-akalan' Maskapai

Oleh Nani Suherni
SHARE   :

BPKN Sebut Aturan Tarif Batas Atas Bisa Jadi 'Akal-akalan' Maskapai

Pantau.com - Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) meminta Kementerian Perhubungan mencabut kebijakan tarif batas bawah dan tarif batas atas (TBB-TBA) yang diterapkan kepada maskapai penerbangan juga tarif ojek online. 

Ketua Komisi Advokasi BPKN Rizal E. Halim menilai kebijkan tersebut dinilai tidak sesuai dengan aturan dalam Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

"Kami dengan tegas meminta membatalkan keputusan Kementerian Perhubungan soal tarif batas bawa dan tarif batas atas," ujarnya saat menggelar jumpa pers di Gedung BPKN, Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat, Senin (8/4/2019).

Pasalnya kata dia, jika kebijakan ini diterapkan maka semua tarif ditetapkan mendekati tarif batas atas. Sehingga kompetisi untuk menghadirkan jasa yang superior kepada konsumen menurutnya sulit dilakukan.

"Sehingga yang menjadi korban kebijakan terusebut adalah konsumen. Ini yang menjadi masalah yang ingin kami diskusikan," paparnya.

Baca juga: Mantap Jiwa! Yogyakarta Akan Miliki Underpass Terpanjang se-Indonesia

Untuk tarif pesawat kata dia, TBB dan TBA ini tidak menyelesaikan permasalahan biaya pada maskapai penerbangan. Menurutnya, ini justru membuat konsumen harus menanggung beban efisiensi yang seharusnya tidak dibebankan pada konsumen.

"Batas atas dan batas bawah ini hanya permisif terhadap persolan efisiensi di industri penerbangan dan industri pendukung misalnya; infrastruktur yang tidak efisien, jadi parkir pesawat mahal, lalu apakah ketidakefisiensian itu kita bebankan ke masyarakan? Kan seharusnya tidak. Apakah karena monopoli avtur kita bebankan ke masyarakat? Kan seharusnya tidak," ungkapnya.

Baca juga: Peminjam Online Waspada! BPKN: Belum Ada Kepastian Hukum pada Fintech

Sementara untuk aturan tarif ojek online, menurutnya lebih baik diberlakukan tarif yang sama. Penyelesaian masalah juga bukan satu-satunya soal tarif namun juga soal kejelasan status mitra pengemudi yang merupakan permasalahan pokok. 

"Jadi satu batas atas, termasuk ojol. Cocok ini untuk Indonesia. Seharusnya bisa mirip Jerman, itu bukan mitra, tapi karyawan, apakah itu permanen atau bukan. Kalau seperti itu tanggungjawabnya lebih jelas," ungkapnya.

Sebab kata dia, kejelasan status mitra pengemudi memudahkan adanya tanggung jawab ketika terjadi sesuatu pada konsumen. Pasalnya beberapa aduan yang terjadi saat ini terjadi antara mitra pengemudi dan konsumen. 

"Kasus yang masuk di kami ada perampokan, pelecehan seksual, pemerkosaan, ketika mengadu, kita ke semua entitas itu, Kominfo, kepolisian, tidak ada tanggungjawab, jadi saran kami ke konsumen; 'gugat kami dan negara karena kami tidak bisa memberi perlindungan, keadilan pada kalian, gugat'. Itu masalah kita," pungkasnya.

Penulis :
Nani Suherni