HOME  ⁄  Ekonomi

Cerita Buruh Proyek Hunian China yang Hanya Dibayar Rp17.000 per Jam

Oleh Nani Suherni
SHARE   :

Cerita Buruh Proyek Hunian China yang Hanya Dibayar Rp17.000 per Jam

Pantau.com - Pesisir pantai dekat kawasan Rainbow City menjadikan negara-negara Pasifik memiliki daya tarik tersendiri. Kegelisahan warga setempat dengan kegiatan pembangunan yang didukung China di Pasifik bukanlah hal baru. Tapi skalanya kini semakin meningkat, di tengah persaingan negara-negara besar atas kawasan ini.

Dilansir ABC, dengan wilayah lautan dan Zona Ekonomi Eksklusif yang luas, negara-negara kepulauan di Pasifik pun masuk ke dalam radar China dan Amerika Serikat, serta sekutu-sekutu mereka.

Tahun lalu, para pejabat AS dan Australia menyuarakan kekhawatiran mereka mengenai kemungkinan hadirnya pangkalan militer China di Vanuatu. Pembangunan Pelabuhan Luganville yang didanai China di sana tidak meredakan kekhawatiran tersebut.

Menurut data lembaga pemikir Lowy Institute, Vanuatu kini menjadi salah satu penerima terbesar bantuan China di Pasifik.

Baca juga: Dapat Tugas Baru, Luhut: TPPI, Pertamina, PLN, Supaya Dibantu

China menyumbang hampir dua kali lipat ke Vanuatu dibandingkan Australia. Nilainya sekitar 145 juta dolar AUS, dalam bentuk hibah dan pinjaman lunak.

Uang itu digunakan untuk pembangunan Pelabuhan Luganville dan proyek-proyek kecil seperti kantor Perdana Menteri, Presiden, dan Kemenlu.

Namun, Australia masih menjadi kontributor bantuan nasional tunggal terbesar ke Pasifik, yaitu senilai 1,2 miliar dolar untuk seluruh kawasan itu.

Selandia Baru dan Jepang pun masih unggul dari China terkait dengan komitmen bantuannya.

Penduduk di negara-negara pasifik yang kini menjadi incaran pengaruh negara-negara besar, tak dapat mengelak dari rasa prihatin dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Pembangunan seperti Rainbow City memang menjanjikan lapangan kerja dan pelatihan. Tapi penduduk setempat menceritakan kisah berbeda.

Seperti diungkapkan John Bakoa yang tinggal di dekat Rainbow City dan pernah bekerja di sana.

"Mereka tidak membayar kami dengan baik," katanya. 

"Mereka hanya membayar 130 vatu perjam."

Baca juga: PUPR Gelar Rapat Tim Investigasi Ledakan Pipa Minyak Cimahi

Jumlah tersebut kira-kira setara dengan 1,70 dolar atau sekitar Rp17.000, jauh di bawah ketentuan UMR di Vanuatu.

Namun Cheng membantah hal ini. Menurut dia, pekerja penuh waktu mendapatkan gaji tinggi melebihi UMR. Namun tidak jelas apakah itu berlaku untuk pekerja lepas.

Warga setempat juga khawatir karena para pekerja asal China menolak membeli buah dan sayuran dari mereka, jika harganya tidak dibuat semurah mungkin. Bakoa mengakui proyek tersebut berpotensi mendatangkan investasi dan infrastruktur di sana.

"Orang China datang dengan membawa banyak uang," katanya, tapi dia sendiri tidak melihat bagaimana uang tersebut membantu warga sekitarnya.

"Kondisi kerjanya tidak bagus, mereka sangat menekan kita namun imbalan yang kita terima sangat kecil," katanya.

Warga di sana merasakan perlunya pembangunan, namun pada saat bersamaan juga ingin mempertahankan kendali dan identitas nasionalnya. Bakoa mengaku resah dengan perubahan yang terjadi di pulaunya itu.

"Saya dengar banyak orang akan terbantu dengan pembangunan. Saya tidak begitu yakin. Sebab ini orang China, mereka punya jalan pikirannya sendiri. Kami tak memahaminya," tutur Bakoa.

Penulis :
Nani Suherni